Jumat, 20 Mei 2011

Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Periode V

            PENDAHULUAN

Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur’an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur’an.Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi’in. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodeisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam. 

PEMBAHASAN MASALAH PERIODE KELIMA (ABAD III HIJRY)

Periode ini disebut: Masa seleksi, permurnian, penyehatan dan penyempurnaan hadis, Yang dimaksud masa seleksi atau penyaringan disini, ialah upayapara mudawwinHadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan kitab tadwin.[1]
Periode kelima ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah AI-Ma’mun) sampai awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqta­dir), atau dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III.
Di permulaan abad ketiga para ahli hadits berusaha menyisihkan Al Hadits dari fatwa – fatwa sahabat dan tabi’in, mereka berusaha membukukan hadits Rasulullah semata mata. untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai menyusun kitab – kitab musnad yang bersih dari fatwa fatwa, bangunlah ulama – ulama ahli hadits seperti: Musa Al-’Abbasy, Musaddad Al-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Hammad Al-Khaza’iy menyusun kitab kitab musnad, Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hanbal dan Lain lainnya[2], dan kemudian akan di jelaskan lebih lanjut tentang sejarah perkembangan hadist pada periode ini.

          
            KEADAAN UMMAT ISLAM PADA PERIODE INI

1. Pertikaian faham di kalangan Ulama
Sejak abad kedua hijry, telah lahir para mujtahid di bidang fiqh dan dibidang ilmu kalam.Kehidupan ilmu pengetahuan Islam pada abad ini sangat pesat.Antara para mujtahid Islam, sesungguhnya tidaklah ada masalah.Mereka saling menghormati dan menghargai pendapat-penda­pat yang timbul. Tetapi lain halnya di kalangan para murid dan pengikut­nya. Mereka hanya baranggapan bahwa pendapat guru dan golongan­nya saja yang benar.Sikap yang demikian ini mengakibatkan timbul­nya bentrokan-bentrokan antara mereka, termasuk para ulamanya.Pada abad ketiga, bentrokan pendapat itu telah rnakin meruncing, baik antargolongan mazhab fiqh, maupun antarrnazhab ilmu kalam.Ulama Hadits pada abad ketiga ini, menghadapi kedua golongan ter­sebut.
Terhadap pendukung madzhab fiqh yang fanatik, Ulama Hadits harus menghadapinya, karena tidak sedikit di antara mereka berbeda pendapat dalam memahami hukum Islam. Para pendukung madzhab fiqh yang fanatik buta, bila pendapat mazhabnya berbeda dengan maz­hab lainnya, maka di antara mereka tidak segan-segan untuk membuat Hadits-hadits palsu dengan maksud selain untuk memperkuat argumen mazhabnya, juga untuk menuduh lawan mazhabnya sebagai golongan yang sehat.Golongan/mazhab ilmu kalam, khususnya kaum Mu’tazilah, sangat memusuhi Ulama Hadits.Mereka (dari kaum Mu’tazilah) ini, sikapnya ingin memaksakan pendapatnya membuat Hadits-hadits palsu.Pertentangan pendapat dari kalangan ulama Ilmu Kalam dan Ulama Hadits ini sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad II hijry.Tetapi karena pada masa itu penguasa belum memberi angin kepada kaum Mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih berada pada ketegangan-ketegangan antargolongan. Dan ketika pemerintah, pada awal abad III hijry, dipegang oleh Khalifah Ma’mun yang pendapatnya sama dengan kaum Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan AI­Qur’an, maka Ulama Hadits bertambah berat fitnah yang harus dihada­pinya.
Dinatara tokoh tokoh yang yang muncul dalam kalangan mu’tazilah ialah  Amar Ibn Ubaid (wafat 143 H), Abul Uzail Al – Allaf ( wafat 235 H), An – Nadham (wafat 221 H), Basyar al- Marisy ( wafat 218 H ) dan Amar Ibn Bahar al-Djahidin ( wafat 225 H)[3]
2. Sikap Penguasa terhadap Ulama Hadits
Khalifah Al-Makmun (wafat 218 H) merupakan khalifah yang sangat memperhatikan terhadap ilmu pengetahuan.Beliau tekun mem­pelajari AI-Qur’an, As-Sunnah dan Filsafat.Beliau memiliki kecer­dasan dan kecerdikan yang sempurna dalam usaha memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.Menerjemah­kan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab, sangat mendapat perha­tian besar. Singkatnya, dalam masa pemerintahan Al-Makmun, Ilmu pengetahuan berkembang pesat, dengan kata lain, masa al makmun , adalah masa yang gemilang bagi sejarah ilmu pengetahuan dalam pemerintahan Abbasiyah.
Tetapi di samping itu, dalam menghadapi pertentangan antara golongan Mu’tazilah dengan ahli Hadits, khususnya tentang apakah Al­Qur’an itu qadim atau hadits, Khalifah Al-Makmun sefaham dengan kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa AI-Qur’an itu hadits, karena­nya AI-Qur’an itu makhluk.Pendapat khalifah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, telah diumumkan secara meluas pada tahun 212 hijry.Dan karena Ulama Hadits tetap terhadap pendiriannya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim, maka khalifah, demi prestasi­nya, lalu berupaya untuk menyiasati para ulama Hadits. Di antara Ulama Hadits yang keras pendirian adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karenanya, Imam Ahmad harus mengalami nasib tragis.Beliau ter­paksa dipenjarakan, karena tidak bersedia surut dari pendapatnya, dan beliau dibebaskan pada tahun 227 H.
Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi Ulama Hadits ini, tetap berlanjut pada masa khalifah AI-Mu’tashim (wafat 227 H) dan Al­ - Watsiq (wafat tahun 232 H). Dan Imam Ahmad, pada masa-masa pemerintahan ini, bukan sekedar dipenjarakan saja tetapi juga disiksadan dirantai. Al-Watsiq pada akhir masa hidupnya, berubah pendirian dan mulai cenderung kepada pendapat Ulama Hadits.
Pada waktu khalifah Al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H), Ulama Hadits mulai mendapat angin segar yang menyenangkan. Sebab, khalifah ini sangat cenderung kepada As-Sunnah.Ulama Hadits sering dihadirkan di istana untuk menyampaikan dan menerangkan Hadits­hadits Nabi. Karena demikian besarnya perhatiannya kepada Hadits Nabi, maka di antara ulama Hadits ada yang mengatakan bahwa Al­-Mutawakkil adalah khalifah yang menghidupkan sunnah dan memati­kan bid’ah. .
Ada pula Kaum zindik yang pada dasarnya sangat memusuhi Islam, dalam masa pertentangan antarmazhab fiqh dan mazhab ilmu kalam yang sedang menajam, telah mendapat kesempatan yang baik sekali untuk meruntuhkan Islam.Mereka sengaja membuat Hadits-hadits palsu untuk lebih mengeruhkan suasana dan menyesatkan umat.Sehingga karenanya, telah menambah sibuk ulama Hadits untuk menyelamatkan Hadits-hadits Nabi yang benar-benar berasal dari Nabi.

            KEGIATAN ULAMA HADITS DALAM MELESTARIKAN HADITS-HADITS
Dalam menghadapi keadaan seperti tersebut di atas, untuk melestarikan hadits hadits nabi dan demi terpeliharanya hadits hadits tersebut, para ulama melakukan hal hal sebagai berikut:
a. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh.
Kegiatan ini ditempuh, karena Hadits-hadits Nabi yang telah dibu­kukan oleh Ulama Hadits pada periode keempat (abad II H) baru terbatas pada Hadits-hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja. Padahal dengan telah menyebarnya para perawi hadis ke tempat­ tempat yang jauh, karena daulah Islamiyyah telah makin meluas dae­rahnya, maka masih sangat banyak Hadits-hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh karenanya, jalan yang harus ditempuh untuk menghimpun Hadits-hadits yang berada pada perawi yang terbesar itu, adalah dengan cara melawat untuk mengunjungi para perawi Hadits.
Usaha perlawatan untuk mencari Hadits Nabi ini, telah dipelopori oleh Imam Bukhari. Beliau selama 16 tahun sekali melawat ke kota Mekkah, Madinah, Bagdad, Basrhah, Kuffah, Mesir, Damsyik, Nai­sabur, dan lain-lain. Kemudian diikuti oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’iy dan Iain-lain.
b. Sejak permulaan abad III H, Ulama Hadits telah mengadakan klasi­fikasi antara Hadits-hadits yang marfu’ (yang disadarkan kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan yang maqthu’ (yang disandarkan pada tabi’in). Kitab-kitab musnad telah sangat berjasa dalam hal ini, sebab telah menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan nama Sahabat yang meriwayatkannya, sehingga dengan demikian Hadits-hadits Nabi terpelihara dari pencampur­adukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. Adapun klasifikasi Hadits kepada kualitas Shahih atau Dha’if, pada permulaan abadini, belum dilakukan.
c. Pada pertengahan abad III H, mulailah Ulama Hadits mengadakan seleksi kualitas Hadits kepada shahih dan Dha’if. Ulama yang mem­pelopori usaha ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih(wafat 237 H), kemudian diikuti oleh Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’iy, Ibnu Majah dan lain-lain.
Sebelum zaman Imam Turmudzi, kualitas Hadits hanya dikenal ada dua macam saja, yakni: Shahih dan Dha’if. Dan sejak zaman Imam Turmudzi, barulah dikenal kualitas Hadits itu kepada tiga macam, yakni: Shahih, Hasan dan Dha’if. Demikian pendapat Ibnu Tai­miyah.
d. Menghimpun segala kritik yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik yang ditujukan kepada pribadi-pri­badi perawi Hadits maupun yang ditujukan kepada matan-matan Hadits. Segala kritik itu kemudian dibantah satu per satu dengan argumentasi ilmiah, sehingga dengan demikian terpeliharalah para perawi dan matan Hadits dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar.Di antara Ulama Hadits yang telah menyusun kitab yang berisi pem­bahasan demikian ini, adalah Ibnu Qataibah,Judul kitabnya Ta’wilu Mukhtalifil Hadits.

          KITAB KITAB HADITS YANG MUNCUL PADA PERIODE III  
         Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka bermunculanlah kitab kitab hadits yang hanya memuat hadis hadis yang shahih, kitab kitab tersebut pada perkembangannya di kenal dengan kutub Al – Sittah (kitab induk yang enam)
          Secara lengkap kitab kitab yang enam di atas, diurutkan sebagai berikut:
1.      Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Bukhari.
2.      Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Muslim.
3.      As-Sunan, susunan Imam Abu Daud.
4.      As-Sunan, susunan Imam At-Turmudzi.
5.      As-Sunan, susunan Imam An-Nasa’iy.
6.      As-Sunan, susunan Imam Ibnu Majah.[4]
Setelah munculnya kutub Al-Sittah, para ulama kemudian mengalihkan perhatian mereka untuk menyusun kitab kitab hadis yang nantinya akan di buat klasifikasi untuk topik topik hadis tertentu, diantara ulama yang masih melakukan penyusunan kitab hadis yang memuat hadis hadis shahih ialah Ibn Hibban Al-Bisti (wafat 354 H), Ibn Huzaimah (wafat 311 H) dan Al-Hakim Al-Naisaburi 

KESIMPULAN 
Perkembangan hadits sejak pentadwinan sangat beragam, baik dari proses periwayatan , penghafalan, penulisan, ciri-ciri kitab yang dihasilkan, dan dan dari segi yang lainnya. Semua itu dipengruhi oleh adanya perubahan politik, situasi masyarakat, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.
Meskipun diakui banyak pihak kodifikasi hadis secara total memiliki rentang waktu yang panjang dengan masa Nabi, namun bukan berarti tidak ada tali pengait yang menjembatani keduanya. Adanya naskah-naskah awal, adanya periwayatan dari kitab tertentu yang dikutip oleh banyak orang dan itu disampaikan kepada generasi berikutnya dengan metode referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dengan metode komparasi antar riwayat, menjadi indikasi dapat terjaganya hadis ke dalam bentuk tulisan.Meski hal ini, tidak berlaku untuk semua hadis dalam kitab hadis.Artinya, walaupun orisinalitas hadis dalam kitab hadis secara umum, bisa diakui, tetapi filterisasi terhadap ‘hadis’ yang diragukan tetap diperlukan.
Demikianlah makalah ini saya buat, mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua, amin.
Wallahu’alamu bisshowab

DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sedjarah perkembangan hadits, Djakarta: Bulan bintang, 1973. Cet. I
Rahman, Fatchur, Ikhtisar musthalahul hadits, Bandung: PT. Alma’arif, 1974. Cet.I
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya media pratama, 2001. Cet. IV
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajagrafindo persada, 2006. Cet. I



[1]Dr. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya media pratama, 1996) cet. Ke – 4, h. 69.
[2]Drs. Fatchur rahman, ikhtisar mushthalahu’l hadits (Bandung: PT. Alma’arif, 1974) cet. Ke – 1, h. 56.
[3]  Hasbi Ash – Shiddieqy, Sedjarah perkembangan hadist (Jakarta: bulan bintang, 1973) cet. Ke – 1, h. 83.
[4]Drs. Munzier Suparta M.A. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. RajaGarfindo persada, 2006 ) ce. Ke – 1, h. 93

2 komentar:

  1. Bagus nih... tapi baiknya ada bertanggung jawab terhadap artikel di atas. jadi nanti mah cantumin nya artikel ini milik siapa ? Ok, kang !

    BalasHapus
  2. Kepada teman-teman di Pasca, khususnya Jur. Pendidikan Islam. dimohon untuk memposting makalahnya terutama yang sudah dipresentasikan dan dinaqd oleh Dosen Pengampu...

    Sukses selalu.
    Salam ukhwah penuh kasih

    BalasHapus