Minggu, 22 Mei 2011

Dari Fundamentalism Ke Islamism (Asal Usul, Perkembangan Dan Penyebarannya)

Prof. DR. H. M. Amin Abdullah, MA.
(Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)


Perbedaan antara agama-agama Timur (Buddhisme, Hinduisme, Konfusionisme) dan agama-agama Barat (Abrahamic religions = Yahudi, Kristen, Islam) terletak pada kekuatan teks atau wahyu. Bagi Yahudi ortodok, Kristen Protestan, dan Islam, sikap mereka yang bersandar pada kitab suci lebih menonjol daripada yang lain. Ini bukan berarti Katolik dan Yahudi non-ortodoks tidak bersandar pada kitab suci, tetapi secara umum, agama-agama besar dunia selalu bersandar pada kitab suci. Hajnya saja, tingkat kekentalan dan rigiditasnya saja yang berbeda-beda. Dari perspektif antropologi, fenomena wahyu, kitab suci, teks atau nash merupakan pertanda bahwa budaya manusia saat itu memang telah memasuki tahapan melek huruf (literate people), bukan lagi non-literate people (buta aksara). Budaya manusia sebenarnya memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menciptakan simbol-simbol huruf atau aksara sebagai alat komunikasi. Sebelumnya, mereka cuma berkomunikasi secara “oral” atau ”lisan”. Untuk sampai ke tahapan oral pun, umat manusia butuh waktu yang cukup panjang juga. Belum lagi perpindahan dari “oral” ke “tulis”. Diperlukan waktu cukup panjang pula untuk mengubah budaya “lisan” ke budaya “tulis”. Tahapan ketika manusia memasuki budaya tulis itulah apa yang disebut dengan kitab suci yang menggunakan “huruf-huruf” sebagai alat komunikasi penyampaian ide-ide, pokok-pokok pikiran dan keyakinan atau keimanan tampil ke permukaan sejarah.
Umat beragama -apapun agamanya- biasanya melupakan proses sejarah yang amat panjang ini demi kebutuhan praktis keagamaan. Ketika budaya tulis-menulis muncul kepermukaan, maka secara otomatis terjadi perubahan cara berpikir, berinteraksi dan berkomunikasi. Fleksibilitas dalam budaya lisan berubah menjadi rigiditas dalam budaya tulis. Dalam budaya tulis, sebenarnya terjadi proses panjang dan rumit yang melibatkan antara lain proses pengumpulan informasi, baik secara hafalan atau dengan cara lain, penyimpanan, penyusunan redaksi, penyuntingan, dan pelepasan informasi-informasi penting secara selektif.
Umumnya, umat beragama menganggap semua ini tidak ada. Mengapa? Bukan semata-mata ditutupi oleh keyakinan bahwa kitab suci adalah wahyu yang secara verbatim turun dari Allah, tetapi juga karena desakan kebutuhan praktis. Yang diperlukan oleh umat beragama, lebih-lebih oleh para elit yang mempunyai kepentingan ideologis serta orang-orang yang disibukan oleh profesi yang ditekuni sehari-hari (division of labour) adalah memperoleh “pedoman praktis” yang dapat diperoleh dengan cepat, yang siap saji dan siap pakai, secara instant tanpa harus berpikir mencari akar sejarah (asbab al-nuzul) dari rangkaian ayat-ayat kitab suci.
Istilah “siap saji” dan “siap pakai” menunjukkan adanya psikologi ketergesa-gesaan, keterburu-buruan, ketidaksabaran, pencarian jalan pintas, dan penghematan waktu di dalam memahami kitab suci. Begitu pembaca menatap dan membaca huruf-huruf atau kalimat-kalimat yang tertera dalam kitab suci, lebih-lebih jika apa yang dibaca itu sesuai dengan cita-cita sosial-politik dan kecenderungan subjektif diri sendiri tanpa harus berpikir panjang atau angen-angen maknane (memahami esensi, substansi dan arti terdalam dari untaian kalimat yang dibaca beserta konteks yang menyertainya), pembaca atay penafsir teks tersebut berharap bahan yang dibaca tersebut langsung dapat dijadikan norma kehidupan, membimbing kehidupan membentuk sikap, mempola perilaku, dan bahkan mewarnai tindakan sosial.
Norma-norma kehidupan seringkali juga terbentuk dari hasil ketergesa-gesaan, pemahaman terburu-buru. Namun, karena desakan kebutuhan praktis, maka para pembaca kemudian cepat-cepat dikodifikasikan dan menjadikannya sebagai pedoman serta melestarikannya. Beberapa saat sesudahnya, -bisa jadi dalam kurun waktu tertentu: satu abad atau beberapa abad kemudian, muncul para pembaharu (Reform Movement) yang mempertanyakan ulang relevansi norma-norma yang selama ini berlaku dan dianggap baku oleh masyarakat.

a. Pemahaman Literal-Skriptural dan Sikap Eksklusif-Apologetik.
Pemahaman tekstual-skriptural terhadap kitab suci merupakan suatu jenis pemahaman kitab suci yang paling mudah diperoleh. Dalam Ulum al-Qur’an (studi ilmu Alquran) dikenal istilah munasabah al-ayat. Istilah ini mengindikasikan bahwa pemahaman tekstual-literal-skriptural terhadap potongan ayat atau hadis tidak begitu bagus, karena ayat tersebut belum sempat diperbandingkan dengan ayat-ayat lain supaya memperoleh pemahaman yang lebih utuh. Pemahaman tekstual-skriptural adalah jenis pemahaman kitab suci yang dangkal, karena tidak ada upaya memperbandingkan secara mendalam – lebih-lebih secara kontekstual yang membutuhkan analisis histories dan psikologis –antara satu ayat dengan ayat-ayat lain yang mungkin memberi pemahaman dan pengertian yang berbeda atau justru berseberangan – untuk tidak menyebutnya bertentangan.
Istilah-istilah atau kosa kata dalam kitab suci al-Qura’an atau Hadis nabi, biasanya dipahami secara sepihak oleh berbagai pemangku kelompok kepentingan sosial, politik, ekonomi, sosial. Antara lain dapat diambil contoh, seperti Jahiliyyah (Jahiliyyah al-asr al-hadits), Khalifah (dipopulerkan dengan sistem pemerintahan khilafah), Kufr (menjadi gerakan al-takfir wa al-hijrah), wadhribu hunna wahjuru hunna (gender equity), dan begitu seterusnya.
Pemahaman skriptural-tekstual ini mudah sekali membentuk sikap sosial yang bersifat apologetik dan eksklusif. Dalam percaturan dan pergumulan dunia sosial adalah wajar jika ada kelompok lain yang tidak sepakat dengan pandangan kita, mengkritik, tidak menyetujui, memberikan catatan-catatan kritis terhadap pola hidup, pandangan hidup, keyakinan, serta tindakan yang kita anggap secara sepihak paling benar. Ketika ada orang atau kelompok lain, lebih-lebih jika orang atau kelompok tersebut merupakan pengikut agama lain, yang melontarkan kritik atau menyatakan ketidaksetujuan mereka, maka instink sosial kita secara spontan akan menolak, paling tidak ingin mempertahankan diri, memegang teguh ide, keyakinan dan pendapat kita tanpa harus diteliti secara cermat dan diuji terlebih dahulu. Seringkali, ketika argumen dan posisi kita sedang lemah dan sedikit terdesak, kita pun memerlukan backing dari kitab suci yang kita pahami secara instant, siap saji dan siap pakai, supaya posisi dan argumen kita lebih legitimate dan berwibawa (charismatic).
Dalam kehidupan sosial keagamaan, jika seseorang dan lebih-lebih kelompok telah terpaku kuat pada pemahaman kitab suci secara literal-skriptural, maka tiga kata kunci sosial mendadak hilang yaitu “kompromi”, “konsensus” dan “negosiasi” hilang, lebih-lebih kosa kata “kritik” (al-Naqd), In uridu illa al-Islah tenggelam dalam pelukan hegemoni kekuasaan tafsir kepentingan individu, kelompok (partai, agama, suku, ras, organisasi keagamaan). Kompromi dan konsensus adalah kata kunci penting bagi masyarakat yang hidup di era kemajemukan, multirelijius dan multikultural. Oleh karena desakan kebutuhan untuk memperteguh identitas diri dan kelompok, pemahaman keagamaan yang bersifat skriptural-literal yang mudah dan cepat dapat dipegangi, maka dua kata kunci sosiologis secara mudah diplesetkan arti dan maknanya menjadi “kemunafikan”, ketidakkonsistenan, kelemahan iman dan pada puncaknya “kekafiran”. Betapa bedanya pandangan teologis dan pandangan sosiologis dalam hal ini. Sudah barang tentu, model pendekatan teologis yang bercorak literal-skriptural dapat membantu mengantarkan pada posisi penguatan, penegasan dan pengukuhan identitas diri dan kelompok secara umat, tetapi pada saat yang sama pemahaman tersebut juga mengindikasikan betapa “miskin” dan “rapuh”nya corak pemahaman seperti itu terhadap keberadaan orang lain (the others). Posisi dan pemahaman seperti itu tidak hanya terbatas pada golongan umat beragama tetapi juga pada kelompok-kelompok lain yang non-agama. Boleh dibilang bahwa konsekwensi yang tak diharapkan dari corak pemahaman literal-skriptural terhadap kitab suci adalah lemahnya pandangan seorang dan kelompok agamawan terhadap keberadaan kelompok lain diluar diri dan kelompoknya. Jangankan memikirkan proexistence dengan orang kelompok lain, pada tingkat coexistence saja amat sulit diperoleh.
Benih-benih, akar-akar, tahapan sangat awal dan bentuk paling dini munculnya “violence” atau tindak kekerasan bermotifkan agama adalah dari pemahaman keagamaan yang bercorak literal-skriptural, dan sikap sosial yang bersifat eksklusif dan apologetik. Tidak salah jika “Ilmu Kalam” dalam studi ulumu al-diin yang masih diteruskan hingga sekarang memang didefinisikan sebagai bangunan ilmu pengetahuan tentang ketuhanan Islam yang dimaksudkan untuk “menolak argument sistem kepercayaan yang dianut orang lain.”
Sampai disini tidak ada masalah sesungguhnya. Kitapun maklum bahwa peneguhan dan penegasan indentitas diri, dan lebih-lebih identitas kelompok lebih lagi identitas kelompok keagamaan memang harus dibangun diatas fondasi yang kokoh, tak tergoyahkan dengan cara apapun. Kalau perlu dengan segala cara yang dianggap wajar dan masih dalam batas-batas dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Semua entitas sosial, lebih-lebih entitas agama akan melakukan defence mechanism jika identitas diri dan kelompoknya terusik dan terganggu oleh kritikan apalagi serangan dari kelompok lain. Jika tidak begitu maka hakekat jati diri dan kelompok akan luntur.
Berikutnya akan diulas kapan tahapan yang dianggap wajar ini kemudian berkembang dan berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi wajar, tidak nyaman dan mengarah kearah yang lebih destruktif-membahayakan kehidupan bersama umat manusia.

b. Ketidakpercayaan Sesama Anggota Kelompok Masyarakat (Mutual distrust).
Perasaan tidak senang, tidak setuju, tidak sepakat adalah wajar. Setiap individu dan kelompok selalu mempunyai watak atau sifat dasar seperti itu. Namun perasaan tersebut bisa bertambah menjadi-jadi, bertambah kuat dan berkembang luas jika dibarengi ramuan sikap-sikap sosial dan beban-beban sejarah masa lalu yang biasanya tidak mudah dilupakan karena terdokumentasikan dengan baik, baik dalam ingatan kolektif maupun buku-buku literatur dan film-film dokumenter.
Beban sejarah masa lalu seperti penjajahan (kekuasaan Ottoman Empire [Dinasti Turki Utsmani] di sebagian wilayah Eropa pada masa lalu atau penjajahan Belanda atas Indonesia), perebutan wilayah dan sumber ekonomi (wilayah Quebec, Canada, sebagai wilayah yang diperebutan antara Inggris dan Perancis di Amerika Utara), tindakan pengusiran dari tanah air (Palestina), eks-komunikasi atau pengucilan (pengasingan Presiden dan Wakil Presiden Pertama RI, Soekarno dan M. Hatta ke Digul, penahanan Sanana Gusmao di Jakarta, atau kasusu Nelson Mandela di Afrika Selatan), keinginan untuk melakukan balas dendam terhadap peristiwa masa lalu yang tidak mengenakkan (perang salib dan jihad), pendudukan wilayah (peristiwa Timor-Timur atau aneksasi Kuwait oleh Irak), sengketa wilayah (perebutan wilayah Kashmir antara India dengan Pakistan atau sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan Ambalat antara Malaysia dengan Indonesia), dan sebagainya. Beban-beban sejarah masa lalu ini akan memperbesar, memperkuat, mempertajam dan memperuncing hubungan antar kelompok sepanjang masa – untuk tidak menyebut selamanya. Hubungan sosial tidak sehat antara dua atau tiga pihak yang berselisih akan memunculkan tuduhan-tuduhan liar yang sulit dikendalikan. Kelompok yang satu dianggap sebagai “mata-mata” atau bahkan musuh oleh kelompok yang lain, hanya semata-mata karena berbeda pendapat. Kaum intelektual yang progressif dianggap agen CIA (Fazlur Rahman di Pakistan; tokoh pejuang hak-hak wilayah dan kultural, atau peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Kompeni Belanda); karya ilmiah dianggap sebagai alat untuk menggoncang akidah umat (Nasr Hamid Abu Zaid di Mesir) , perbedaan epistemologi pemahaman keagamaan (kasus al-Hallaj pada era Islam klasik atau Syaikh Siti Jenar di lingkungan budaya Jawa); perebutan pengaruh dalam percaturan politik-ekonomi di dalam negeri (Mahatir Muhammad versus Anwar Ibrahim di Malaysia); penghinaan terhadap martabat dan nama baik agama, negara, atau rezim (Fatwa Imam Khomaini, pimpinan tertinggi Iran 1979-1989, atas Salman Rushdie), fatwa MUI tahun 2005 tentang sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) bagi gerakan intelektual dan sosial keagamaan yang kritis terhadap perilaku sosial politik keagamaan ditanah air dan begitu seterusnya. Dalam literatur agama Islam baik yang diambil dari kitab suci maupun kitab-kitab ilmu kalam, dapat dijumpai banyak kosa kata yang sesungguhnya tidak hanya dapat dipahami secara teologis, namun juga secara sosiologis politis, seperti kata-kata ”kafir”, ”murtad”, ”munafiq”, ”inkar” (mungkir al-sunnah), ”mujrim”, ”bughat” dan sebagainya.
Sikap-sikap seperti ini, yang ujung-ujungnya tidak menyetujui dan tidak mengakui keberadaan serta hak-hak orang atau kelompok lain, jika memuncak dan menumpuk akan membentuk serta memupuk sikap-sikap tidak toleran (intolerance), kebencian (hatred), kemarahan (anger), ancaman (threat), dan tindakan diskriminatif. Pada gilirannya, akan tumbuh penyakit hati yang disebut buruk sangka (prejudice atau su’udzan) pada orang lain dan kelompok lain yang tidak seide, sepaham, seaqidah, seiman, sesekte, separtai atau seorganisasi. Pada puncaknya, ketika semua prasayarat telah terpenuhi, maka akan muncul ketidakpercayaan antar sesama individu, sesama anggota keluarga, sesama kelompok atau antar kelompok (mutual distrust).
Ketika hendak menyiapkan tulisan ini, penulis ingin mengecek Encyclopaedia of Religion terlebih dahulu. Saya yakin bahwa di dalam literature semacam itu, khususnya yang terbit setelah tahun 1990, seharusnya telah mencantumkan entry “violence” dalam kosa kata bahasa agama. Jika tidak, penulis menganggap ensiklopedia tersebut tidak mengikuti perkembangan sejarah agama-agama era modern. Ternyata benar dugaan penulis. The Oxford Dictionary of World Religions, misalnya, menguraikan violence dalam agama sebagai berikut :
Violence : An aspect of human behaviour often bound up with emotion (especially anger), which religions cannot ignore-and often express. Opinion is divided as to as where violence should be located along the nature – nurture spectrum. Those favouring natural processs or psychodynamics theory hold that religious activities reduce violence if they function cathartically, but increase violence if they result in frustation. Those favouring cultural processes, hold that religious function as learning systems. It is pointed out that apparently non-aggressive societies are informed by religions which function to instil peace by presenting the adverse consequences of violence. Aggressive peoples, on the other hand often live with aggressive religious ideologies.
Ada tiga kata kunci yang tersirat disitu: pertama, Agama sama sekali tidak bisa meninggalkan- untuk tidak menyebutnya lengket dengan ”emosi”, sedangkan ”emosi” merupakan cikal bakal agresivitas yang mudah berbelok arah kepada tindak kekerasan.
Kedua, aktifitas dan kegiatan keagamaan dapat mengurangi tindak kekerasan, jika ia berfungsi dengan baik sebagai alat peredam (katarsis). Tetapi sebaliknya, aktivitas keagamaan bisa menjelma menjadi daya dorong yang hebat dan memicu kekerasan, jika ia justru menimbulkan perasaan frustasi dan tidak puas bagi para pemeluknya.
Ketiga, masyarakat beragama yang tidak agresif biasanya dikondisikan oleh corak dan model pendidikan agama (learning system) yang ditawarkan oleh para pimpinan agama, masyarakat, atau kelompok agama yang santun secara sosial. Para guru dan pemimpinnya memang selalu mempromosikan dan menyemaikan nilai-nilai perdamaian pada umatnya, sedangkan masyarakat beragama yang agresif biasanya memang dibentuk oleh corak pemahaman keagamaan para elit pemimpinnya (guru, mentor, dosen, kiai, pastur, romo, pendeta, tokoh agama) yang berubah dan menjelma menjadi ”ideologi” pembela kepentingan tertentu.
Pimpinan elit agama termasuk didalamnya guru, orang tua, dosen, kyai, da’i, ustadz, pimpinan gerakan mahasiswa, pimpinan organisasi sosial keagamaan, dan pimpinan politik yang berbasis agama, pimpinan usrah, halaqah, tarbiyah dan sejenisnya ternyata memegang kunci penting kemana layar akan berkembang, dan kemana biduk doktrin agama akan dibawa. Ke arah konsensus dan kompromi yang mengarah ke kesejukan dan perdamaian, atau ke arah pertentangan, mutual distrust, konflik dan kekerasan. Pada dasarnya agama bersikap mendua (ambivalent) bisa sejuk, bisa juga beringas; bisa lunak, bisa keras; bisa damai, bisa juga perang. Karena sifatnya yang mendua, lalu para elit pimpinan agama perlu ekstra hati-hati dan benar-benar waspada. Tingkah laku, akhlak sosial-politik, solah bowo, muna-muni (bahasa Jawa), dan fatwa-fatwa keagamaan , yang dikeluarkan oleh pemimpin agama akan sangat membentuk corak perilaku agresif atau non-agresif dari umatnya. Termasuk yang perlu diwaspadai adalah bagaimana corak pendidikan agama yang diberikan sejak dari pilihan materi, metode, sampai teknik pengajaran di sekolah-sekolah umum, pesantren, sekolah-sekolah agama, perguruan tinggi, gerakan mahasiswa, kursus-kursus ”kilat” keagamaan, model penjaringan anggota baru lewat gerakan dan pemahaman keagamaan, majelis-majelis taklim, arena serta tempat-tempat kebaktian, rapat-rapat, dan pidato-pidato keagamaan yang bersifat agitatif di tempat-tempat umum, seperti di lapangan terbuka, masjid, pura, gereja dan begitu seterusnya.

c. Penyebaran Merata Rasa Ketidakadilan Sosial-Ekonomi dan Sosial Politik
Tidak fair menjadikan agama sebagai kambing hitam jika terjadi kekerasan dalam masyarakat. Benih-benih kekerasan yang telah ada secara intrinsik dalam agama tidak bisa serta merta tumbuh subur dan tersebar luas jika tidak ada faktor di luar agama yang ikut berperan. Faktor di luar entitas agama yang bisa membonceng adalah situasi riil politik, ekonomi, dan sosial. Gerakan ”fundamentalisme” agama yang biasa disebut-sebut belakangan adalah masuk dalam wilayah ini. Karen Amstrong menyebut gerakan fundamentalisme agama sebagai ”highly political spirituality” (Keberagamaan yang sangat berbobot politik kekuasaan)
Masalah ketidaksetaraan (inequality) atau kesenjangan yang sangat mencolok antara the have dan the have not sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat luas . Negara-negara kapitalis menjadi digdaya, karena ditopang dengan kekuatan ilmu pengetahuan, baik secara teoretis maupun terapan, serta digerakkan dengan mesin globalisasi ekonomi dan perdagangan melalui multinasional, program WTO, dan AFTA. Sedangkan yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan tersebut menjadi negara miskin. Jika perubahan era postmodernitas berjalan secara liar- yang kalaupun diatur hanya akan memihak kepada negara-negara adi kuasa, maka proses ini akan menimbulkan keresahan sosial yang bersifat massif. Menumpuknya hutang negara-negara dunia ketiga sejak di Amerika Latin, Afrika dan Asia, yang disebabkan kesalahan manajemen di dalam negeri- apalagi kalau dibarengi dengan persekongkolan dan penyuapan antara pemberi hutang dan penerimanya- tanpa ada penyelesaian yang jelas, maka hal ini akan menambah tumpukan rasa frustasi banyak anggota masyarakat dunia ketiga.
Ketidakadilan global berakibat pada ketidakadilan lokal. Ketidakadilan lokal ikut memicu berkobarnya rasa iri, dengki, tidak puas, frustasi anggota masyarakat. Tindak KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di berbagai tempat, perselingkuhan birokrasi pemerintah dengan pengusaha dan partai politik menjadikan rakyat tidak berdaya dan tidak mempunyai akses yang setara ke sentral-sentral ekonomi, pusat-pusat kekuasaan politik, dan pendidikan; hukum dan sosial. Lambannya penegakan hukum terhadap pelaku tindak korupsi semakin mendorong warga untuk frustasi. Singkat kata, lemahnya kinerja pemerintah dari pusat sampai daerah dalam melayani kebutuhan dan rasa keadilan rakyat menambah akumulasi rasa ketidakpuasan masyarakat luas.
Ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur (politik, ekonomi, sosial, agama), dan menjadi tanggungjawab pemerintah terekspresikan dalam wilayah pelayanan sosial, seperti kesehatan, sandang pangan, pendidikan, penerangan, transportasi, air bersih, komunikasi, hukum. Ini menjadi tolak ukur kesungguhan dan kepedulian struktural pemimpin politik (DPR, MPR, Pemerintah) terhadap rakyat. Rezim pemerintah paska kemerdekaan, yang dianggap ”sekuler”, dicap gagal dalam menaikkan taraf kehidupan rakyat kecil pada umumnya. Sebagian kelompok agama ingin kembali ke sistem pemerintahan ”khilafah” (baca: bukan demokrasi) ang dianggap akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan ini.
Pemerintahan yang stabil biasanya tercermin dan terukur lewat layanan sosial yang diberikan. Pergantian regim lewat pemilikan umum tidak jadi soal jika layanan sosial dari semula memang sudah prima. Layanan sosial perlu menjadi primadona sebuah rezim pemerintahan. Kebutuhan masyarakat yang tercukupi akan menopang stabilitas pemerintahan. Begitu pula sebaliknya, mutu pelayanan sosial yang rendah akan melemahkan roda pemerintahan. Dan lemahnya roda birokrasi pemerintahan melemahkan wibawa dan otoritas negara untuk melanjutkan kepemimpinan yang diinginkan oleh rakyat.
Tidak terpenuhinya rasa keadilan secara struktural dalam masyarakat sangat rawan bagi stabilitas pemerintahan. Intrik-intrik, manipulasi konspirasi, oligarki, gerakan bawah tanah, clandestine activities, dan persekongkolan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah mulai dihembus-hembuskan oleh lawan-lawan politik . Lawan-lawan politik tersebut dapat dengan mudah menjual ide-ide mereka, jika memang situasi riil politik memungkinkan. Perlawanan ideologis dari kelompok-kelompok pesaing pemerintah yang inilah yang akan menjelma menjadi cikal bakal kekerasan yang bersifat terbuka. Gerakan fundamentalise keagamaan hidup subur dalam situasi melemahnya birokrasi kepemerintahan dalam melayani hajat masyarakat banyak –yang belakangan- untuk konteks Islam- disebut Islamism.
Pada era demokrasi dan transparansi, kekerasan struktural bisa bermula dari rezim yang sedang memerintah, pergumulan ideologis antara eksekutif dan legislatif dalam merancang dan memberlakukan kebijakan ekonomi negara (tarif listrik, BBM, telepon, harga-harga bahan pokok), pergumulan antara pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan kelompok-kelompok kepentingan yang lain seperti partai politik, kelompok militer, birokrasi, ulama, barisan sakit hati, dan begitu seterusnya.
Perkawinan dan percampuran antara ketiga faktor sebagaimana terurai di atas, yaitu pemahaman yang sempit terhadap teks-teks kitab suci, perasaan tidak aman secara socio-psikologis dan ketidakadilan ekonomi global – lebih-lebih ketidakadilan lokal, menciptakan situasi yang sangat rumit, dan kompleks, Keadaan tersebut lebih rumit dibandingkan dengan situasi pada abad pertengahan, lantaran canggihnya ilmu dan teknologi dan media komunikasi publik yang dimiliki oleh generasi umat manusia sekarang ini. Jika ini dianggap sebagai gejala penyakit, maka cara penyelesaiannya pun harus berbeda dari cara-cara yang dahulu pernah dipakai oleh peradaban umat manusia di masa lalu. Ibarat penyakit kanker yang kronis, pertemuan antara ketiga faktor ini belum ada obat penyembuhnya.
Sampai disini, sebenarnya juga tidak ada masalah. Kekerasan yang sifatnya keluar terbuka belum muncul ke permukaan, meskipun kekerasan yang sifatnya ke dalam sudah hampir merata dirasakan banyak orang, khususnya para elit. Timbul ketidakpastian, kegelisahan, dan kekalutan yang campur aduk dalam benak beberapa orang, khususnya para elit yang ingin memperbaiki keadaaan yang dianggap tidak nyaman dan mengusik rasa keadilan. Biasanya, perasaan tersebut diekspresikan lewat demokrasi unjuk rasa dengan berbagai variasi dan aksi pendahuluan, seperti surat kaleng, diskusi ahli, protes, permohonan ancaman, boikot, walk out, tulisan artikel dimedia massa, konferensi pers, debat publik, penyebaran selebaran, pamplet, dan begitu seterusnya.
Selagi pemerintah tetap membuka diri untuk berkomunikasai dan berdialog dengan semua kalangan, semua cara untuk menyampaikan akumulasi aspirasi tersebut masih wajar-wajar saja. Lebih-lebih jika pemerintah mau mencari solusi yang dianggap tepat oleh para penyampai aspirasi. Namun, hukum sosial tidak berjalan linear seperti itu. Diluar yang ”resmi”, masih banyak cara dan jalur ”tidak resmi”, yang seringkali berdampak lebih fatal daripada jalur-jalur konstitusional-formal tersebut. Poin berikut akan diuraikan apa yang diebut ”pemicu” (trigger) yang membuat keadaan menjadi tidak terkendali. Tahapan ini seringkali, luput dari telaah para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan, tetapi sangat ditunggu-tunggu oleh berbagai pemangku kelompok kepentingan (politik).

d. Pemicu (Trigger) Rumput Kering Sangat Rawan Terbakar.
Situasi psiko-sosial seperti tergambar di atas sesungguhnya amat sensitif dan rawan. Ibarat air dalam panci yang diletakkan di atas tungku api yang sudah mulai ”memanas”, dan sebentar lagi akan ”mendidih”. Ibarat rumput kering, tinggal menunggu percikan sedikit bahan bakar dan api, maka seluruh area akan cepat terbakar habis.
Pertemuan 3 faktor tersebut di atas ibarat ladang rumput yang sudah hampir mengering semuanya. Tidak ada lagi celah diantara sisa hamparan rumput tersisa yang masih hijau, yang dapat menjaga tidak meluasnya api. Begitu ada sedikit saja percikan api, maka rumput kering itu langsung terbakar. Tanpa mengenal ampun, seluruh padang rumput terbakar karena tak ada kekuatan yang dapat menghalangi dan meredam jilatan api yang mengganas.
Anehnya, tidak terlalu sulit mencari ”bahan bakar” untuk membakar dan melauapkan emosi, ketidaksabaran, frustasi, kebencian sosial, dan rasa tidak saling percaya tersebut. Ibaratnya, tidak diperlukan bergalon-galon atau berdrum-drum bahan bakar untuk membakar padang rumput. Inilah wilayah yang sangat sulit diduga dan sulit diantisipasi.. Kekuatan intelijen sekalipun tidak bisa menciumnya. Apalagi jika intelijen dan aparat keamanan ikut bermain di dalamnya.
Jika kita mencermati bagaimana kekerasan sosial dapat meledak ditanah air 2-3 tahun sebelumnya dan sesudah turunnya Soeharto, maka kita akan memperoleh beberapa faktor sosial yang dapat dikategorikan sebagai ”pemicu” munculnya kekerasan sosial, baik seperti tawuran antar kampung, tawuran antar pelajar, pembakaran dan pengrusakan gedung, pembakaran gereja atau masjid, pemusnahan gedung milik pemerintah (gedung DPRD, Kepolisian, Kejaksaan), pembakaran toko-toko milik etnis tertentu dan begitu seterusnya.
Dipekalongan, misalnya, seorang yang dianggap tidak waras menyobek kertas kitab suci al-Qur’an. Oleh para elit, yang sedang mencari alasan yang kuat untuk menggerakkan dan membakar emosi massa demi tujuan dan kepentingan tertentu, kejadiaan ini dijadikan sebagai alat hulu ledak untuk membakar emosi massa untuk berbuat kekerasan sejadi-jadinya dengan cara membakar tempat-tempat niaga dan pertokoan miilik etnis Cina tanpa ada yang bisa menghalanginya.
Contoh lain, pembangunan gedung gereja yang terlalu mewah menurut ukuran lingkungan sekitar, seperti di Situbondo, dapat dijadikan pemicu untuk menyentuh isu ketidakadilan masyarakat. Dengan mudah masyarakat digerakkan untuk membakar gereja dan sekolah-sekolah. Di lain tempat, penulis diberitahu mantan Dandim (Komandan Distrik Militer) Wilayah Ambon, bahwa kesalahan tulis yang tidak disengaja ketika kata ”nabi” manjadi ”babi” (karena, di mesin ketik, letak huruf ”n” dan ”b” berdekatan) menjadi sumber pemicu kekerasan sosial yang hampir-hampir tidak bisa dibendung. Ini terjadi sebelum paristiwa tahun 1999.
Banyak kejadian-kejadian sepele lain yang dapat dijadikan dalih oleh tokoh sosial-politik atau figur sosial-kemasyarakatan yang tidak bisa menguasai diri dan kelompoknya untuk menciptakan situasi chaos dengan cara membakar emosi massa. Pola-pola dan modus operandi kekerasan sosial ini dapat terulang kembali. Yang berbeda hanyalah situasi dan konteks disertai pergantian pemain dan pelaku utamnya. Situasi-situasi sosial dan kejadian-kejadian pemicu bentrokan massa itulah yang sangat ditunggu oleh para ”provokator” yang memiliki target, tujuan, dan kepentingan tertentu.
Pola-pola ”baku” yang bisa dimainkan oleh para provokator inilah yang semestinya juga diperkenalkan kepada anak didik dalam pendidikan agama disekolah, forum pengajian, majelis taklim, kebaktian, atau rapat-rapat organisasi sehingga sistem early warning dapat terbangun dalam sistem pendidikan keagamaan kita. Hal ini perlu, karena agama dapat diracik dengan bahan oplosan atau ingredient yang salah, sehingga sangat jitu digunakan untuk membakar situasi. Ini dimungkinkan, lantaran emosi dan agresivitas melekat dalam watak dasar setiap agama.
Pada era sekarang, tidak cukup hanya mempelajari agama dari sisi-sisi normatif kebaikannya saja, tetapi perlu diperkenalkan dan dijelaskan juga sisi-sisi historitas ”keburukannya”. Yang seringkali memang sangat rumit dideteksi adalah jika agama bercampur dengan politik dan kekuasaan (al-aql al-lahuti al-siyasy) . Upaya menjelaskan kepada anak didik tentang sisi-sisi negatif dari penonjolan collective identy (identitas kelompok) yang disertai penanaman nilai-nilai fundamental sosial-keagamaan setidaknya dapat membantu anak didik dan masyarakat secara umum untuk lebih berhati-hati dalam mempermainkan agama demi kepentingan-kepentingan lain yang berasal dari luar agama itu sendiri.

e. Fundamentalisme Keagamaan Kontemporer
Istilah fundamentalisme keagamaan, sesungguhnya telah ada semenjak dahulu sampai kapanpun jua. Banyak istilah llain yang biasa digunakan untuk menggambarkan fundamentalisme keagamaan, seperti radikalisme, hardliners (aliran keras), ekstrimisme, militanisme, dan pada puncaknya terorisme. Bahkan belakangan muncul istilah ”Islamisme”.
Perilaku kekerasan yang berbasis sektarianisme keagamaan yang seringkali kita saksikan di berbagai tempat, baik di Barat maupun di Timur. Pertikaian dan permusuhan sengit yang berkepanjangan antara Muslim sekte Sunni dan sekte Syi’ah dan antara Katolik dengan Protestan di Irlandia, Itrak pasca rezim Saddam Hussein sampai sekarang ini, dan juga di negara-negara pecahan Yugoslavia, belum lagi di Afganistan dan Pakistan mengingatkan orang akan sejarah perang agama di Eropa yang berujung pada langkah pemisahan ”agama” dan ”negara”, dan sekularisme di Perancis. Gerakan radikalisme keagamaan atau fundamentalisme pada dasarnya merupakan gerakan politik yang diselubungi oleh keyakinan agama. Kaum minoritas merasa ditindas, dihegemoni, dan ditekan oleh kelompk mayoritas. Tidak ada power sharing (pembagian kekuasaan) diantara mayoritas-minoritas. Pluralisme dan multikulturalisme tidak pernah bersemai di situ. Masing-masing bertahan dengan kelompok mereka sendiri-sendiri. Golongan mayoritas mempertahankan status quo tanpa memperhatikan dan memperdulikan hak-hak minoritas.
Yang mayoritas –baca: persekutuan antara pemerintah yang sedang berkuasa dan ulama, untuk kasus di Mesir- ingin menguasai segalanya, dari hulu sampai hilir, sedang yang minoritas karena tidak punya akses apapun dalam wilayah politik, ekonomi, maupun sosial apalagi militer, maka mereka rela dan bisa berbuat nekat, misalnya membunuh dan meledakkan bom ditempat-tempat yang dianggap simbol-simbol kepentingan. Bahkan tidak menutup kemungkinan golongan mayoritas sendiri yang meledakkan bom untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Hubungan relasi kekuasaan yang mengandung unsur kekerasan dan ketidakadilan seperti ini tidak hanya berlaku bagi hubungan Barat dengan Timur atau antara Barat dengan Islam (clash of civilization), tetapi juga berlaku dalam hubungan satu atap kelompok agama sendiri (clash within civilization) di kalangan umat Islam, umat Protestan, dan begitu seterusnya. Pada akhirnya, terjadilah proses balas-membalas tanpa kesudahan, dan lagi-lagi masyarakat kecil yang menjadi korban.
Relasi kekuasaan (power relation) dalam gerakan fanatisme, radikalisme dan fundamentalisme, belum lagi apa yang disebut sebagai gerakan global salafisme kontemporer memiliki hubungan yang sangat dekat untuk tidak menyebutkan identik. Hampir seluruh tindak kekerasan (violence) yang terjadi di berbagai daerah dan negara yang mengatasnamakan agama sangat terkait dengan power relation (relasi kekuasaan), karena kekuasaan (power) adalah simbol bertemunya muara kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan militer sekaligus.
Menurut hemat penulis, yang membedakan gerakan radikalisme keagamaan era klasik dan kontemporer, selain karena digerakkan oleh pemahaman keagamaan yang sempit, perasaan tertekan, terhegemoni, tidak aman secara psikososial, serta ketidakadilan lokal dan global adalah juga digunakannya kecanggihan teknologi modern yang bersifat semi militer untuk merancang, menyalurkan, melampiaskan , dan mengegolkan cita-cita sosial-politik tertentu. Bom bunuh diri yang merebak di daerah-daerah konflik yang panas, seperti di Palestina, Irak, Afganistan, Chechnya, Pakistan, Saudi Arabia, dan bahkan Indonesia, adalah gabungan yang kuat antara ketiganya (relasi kekuasaan, gerakan fanatisme, dan radikalisme keagamaan). Istilah al-Tatarruf at-Diniy (ekstrimisme keagamaan), seringkali lebih nyaman dari pada istilah fundamentalisme (dalam konteks Protestan di Amerika)..
Kejadian paling dramatis adalah gerakan teror11 September 2001 yang dikerjakan dengan tekun disertai networking yang rapi dan akhirya memperoleh keberhasilan serta media coverage yang luar biasa. Rupanya, kemajuan ilmu dan teknologi (perspektf sains) yang terpisah jauh dari isu keadilan (perspektif ekonomi) serta pemahaman yang rapuh terhadap keberadaan orang atau kelompok lain agama (perspektive pemahaman agama) dapat mendatangkan mara bahaya yang tak terperikan di kemudian hari.
Bertemunya kemampuan ilmu dan teknologi dengan pemahaman keagamaan yang sempit serta tidak sensitifnya kepekaan sosial dapat menghimpun kekuatan dahsyat yang berdaya ledak yang luar biasa. Manusia tertegun dan menundukkan kepala melihat kenekatan gerakan terorisme yang membumi hanguskan simbol kekuatan dan kekuasaan dunia modern yang termanifestasikan dalam supremasi teknologi, globalisasi uang dan stock-market, komputer, aeronautika, dan jaringan media.
Lagi-lagi, disini manusia modern diingatkan bahwa kemajuan sains dan teknologi belum dapat menjamin segala-galanya. Karena tertinggal dan ditinggalkan oleh Barat dengan monopoli atas sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui (organik) maupun yang tak dapat terbaharui (non-organik), oleh negara-negara kuat (superpower), negara-negara dunia ketiga mempunyai cara lain dalam menghitung dan mengkalkulasi keadaan, meskipun kalkulasi tersebut bisa benar dan bisa juga salah.
Kalau Einstein dulu pernah menyatakan ”Science withort religion is blind, religion sciences lame”, maka hal itu ada benarnya, tetapi pertanyaan saya adalah seperti apakah agama seperti apa yang dimaksud oleh Einstein? Jika kemampuan dan kekuatan sains dan teknologi dipadukan dengan corak keberagamaan dan pemahaman keagamaan yang sempit serta bertambahnya gap yang terjembatani antara negara-negara kaya dan negara miskin, hasilnya adalah merebaknya tindakannya radikal, ekstrim dan teror. Sedangkan agama yang dipelajari secara provinsialistik, untuk era globalisasi kultural dan ekonomi seperti saat ini, juga tidak akan dapat banyak menolong menyiram kedahagaan spiritual apalagi material umat manusia.

1 komentar:

  1. Kita akan lebih bangga, kalau yang nulis ini Rektor/Direktur Pasca kita... Ditunggu ya pa Rektor/Direktur.

    BalasHapus