Minggu, 22 Mei 2011

Menghargai Kejujuran

MENGHARGAI KEJUJURAN
diposting oleh : Abunabiel Al-Faqier

Akhir-akhir ini menteri pendidikan nasional melontarkan gagasan  tentang pentingnya pendidikaan karakter. Orang harus cerdas secara intelektual dan sekaligus unggul karakternya. Seorang yang hanya cerdas intelektualnya tanpa diikuti oleh keunggulan karakternya  justru akan membahayakan diri yang bersangkutan dan bahkan juga orang lain. Demikian pula orang yang tinggi karakternya, tetapi tidak cerdas secara intelektual maka juga tidak akan banyak memberi manfaat, dan bisa jadi akan diombang-ambingkan oleh orang lain.
Membangun  kecerdasan intelektual selama ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai pelajaran melalui lembaga pendidikan. Para siswa diajari berhitung, membaca dan menulis, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,  dan humaniora. Pengetahuan  tersebut dikemas  dalam berbegai tingkatan, dan diberikan sesuai dengan perkembangan para siswa, mulai tingkat dasar hingga menengah,  dan bahkan perguruan tinggi.
Jika  berkarakter  disama artikan di antaranya dengan kejujuran, maka pertanyaannya adalah,  apakah dengan pelajaran sebagaimana disebutkan di muka  seorang siswa pada tingkatan tertentu, juga sekaligus  telah berhasil terbangun sifat kejujurannya. Harapannya memang seperti itu.  Para siswa setelah mendapatkan  seperangat pengetahuan tersebut, selain  intelektual mereka meningkat, kejujurannya juga bisa teruji. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak orang cerdas, berpendidikan tinggi, tetapi belum mampu berbuat jujur. Antara kecerdasan dan kejujuran ternyata tidak selalu tumbuh seiring dan atau sejalan.
Di dalam al Qurán dapat ditemukan konsep ulul al baab. Pada ayat al Qurán itu disebutkan bahwa ulul al baab adalah orang yang selalu berdzikir dan memikirkan ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Ayat itu jika dikaitkan dengan misi Rasulullah, yakni untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, maka akhlak  sebanrnya  terbangun oleh banyaknya berdzikir dan selalu memikirkan ciptaan Allah,  baik yang  ada di langit maupun yang ada di bumi.
Berangkat dari ayat al Qurán tersebut di muka,  maka upaya penguasaan  berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu sosial, dan humaniora belum  cukup untuk meraih derajad ulul al baab. Untuk meraih  derajad mulia itu, bahkan  harus didahului dengan selalu berdzikir tanpa batas waktu dan jumlahnya.  Seseorang,  sebatas mempelajari ilmu alam, ilmu sosial,  dan humaniora belum  cukup untuk menjadi jujur, berakarakter, dan berakhlak mulia.  
Untuk  menjadi  orang  yang  berkharakter, jujur atau berakhlak mulia,  selain selalu memikirkan ciptaan  Allah b aik di langit maupun di bumi, maka harus diawali  dengan selalu mengingat Allah atau berdzikir.  Kegiatan  berdzikir,  atau  mengingat Allah dilakukan pada setiap waktu,  sehingga  pikiran dan hatinya akan  selalu terpelihara, dan sebaliknya terhindar dari melakukan apa saja yang merugikan dirinya dan juga orang lain. Orang yang melakukan keburukan, salah,  dan dosa adalah karena yang bersangkutan tidak sedang berdzikir atau ingat pada Allah.
Seseorang yang  dinyatakan  berhasil  meraih keunggulan intelektual, selama ini   sudah tersedia alat ukurnya, yaitu   berbagai pertanyaan atau soal ujian, baik ujian sekolah maupun ujian nasional.  Soal-soal dalam ujian biasanya hanya bisa mengukur  keluasan wawasan, kemampuan  intelektual atau kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk mengukur akhlak, karakter atau kejujuran belum dikembangkan secara m endalam. Memang sudah ada test-test yang dibuat oleh para ahli psikologi  untuk mengetahui sikap atau attitude seseorang, tetapi belum sampai mampu mengukur karakter, atau akhlak secara mendalam. Mengukur tingkat kejujuran, karakter, dan akhlak seseorang tidak mudah dilakukan.  
Selain itu, bahwa pengajaran  karakter, kejujuran,  dan akhlak tidak cukup ditempuh dengan menerangkan tentang akhlak baik dan akhlak buruk, atau penjelaskan tentang kejujuran dan bagaimana mengimplementasikan di tengah kehidupan. Pendidikan karakter atau kejujuran memerlukan ketauladanan, pembiasaan,  dan penghargaan dari lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Demikian pula penilaian terhadap kejujuran dan karakter tidak cukup hanya melihat jawaban-jawaban siswa dari soal yang dibuat oleh guru.  Untuk melihat kejujuran seseorang harus dilakukan dengan cara yang tepat, misalnya didasarkan atas hasil pengamatan yang mendalam dan menyeluruh.   
Terkait dengan upaya membangun kejujuran, mestinya di tengah masyarakat ------di sekolah maupun  di luar sekolah, dikembangkan tradisi  menghargai bagi siapa saja yang  berhasil mengembangkan  sifat  jujur. Pengakuan terhadap prestasi, bukan saja dilihat dari aspek akademiknya, melainkan juga dari  sejauh mana,--------  berdasarkan pengamatan  yang saksama, menyeluruh dan mendalam, seseorang  selalu berjuat jujur. Nabi Muhammad sejak awal dikenal oleh masyarakatnya sebagai sosok pribadi yang jujur, hingga dijuluki dengan sebutan al amien. Bahkan ketika para kabilah di sekitar Ka’bah bertikai dan berebut siapa yang berhak meletakkan hajar aswad, maka   Muhammad pun dipanggil untuk menjadi hakim. Ia kemudian melakukannya  dengan jujur dan adil. 
 
Kaum yang masih jahiliyah   ketika itu ternyata sudah bisa menghargai dan menganggap penting orang jujur dan adil. Oleh karena itu,  mestinya di zaman  ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju seperti sekarang ini,  bahkan  di kala nilai-nilai kejujuran sedang didambakan oleh banyak orang, maka perlu menghargai atau memberi nilai lebih terhadap orang-orang yang dianggap mampu berperilaku  jujur atau berkarakter. Namun sayangnya, yang selalu dipandang  tinggi,  justru uang dan atau harta. Maka,  beginilah  masyarakat  jadinya, yaitu  selalu berisik, dan bahkan konflik di mana-mana.   Wallahu a’lam.
Sumber : http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2158:menghargai-kejujuran&catid=25:artikel-rektor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar