Minggu, 22 Mei 2011

Dari Fundamentalism Ke Islamism (Asal Usul, Perkembangan Dan Penyebarannya)

Prof. DR. H. M. Amin Abdullah, MA.
(Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)


Perbedaan antara agama-agama Timur (Buddhisme, Hinduisme, Konfusionisme) dan agama-agama Barat (Abrahamic religions = Yahudi, Kristen, Islam) terletak pada kekuatan teks atau wahyu. Bagi Yahudi ortodok, Kristen Protestan, dan Islam, sikap mereka yang bersandar pada kitab suci lebih menonjol daripada yang lain. Ini bukan berarti Katolik dan Yahudi non-ortodoks tidak bersandar pada kitab suci, tetapi secara umum, agama-agama besar dunia selalu bersandar pada kitab suci. Hajnya saja, tingkat kekentalan dan rigiditasnya saja yang berbeda-beda. Dari perspektif antropologi, fenomena wahyu, kitab suci, teks atau nash merupakan pertanda bahwa budaya manusia saat itu memang telah memasuki tahapan melek huruf (literate people), bukan lagi non-literate people (buta aksara). Budaya manusia sebenarnya memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menciptakan simbol-simbol huruf atau aksara sebagai alat komunikasi. Sebelumnya, mereka cuma berkomunikasi secara “oral” atau ”lisan”. Untuk sampai ke tahapan oral pun, umat manusia butuh waktu yang cukup panjang juga. Belum lagi perpindahan dari “oral” ke “tulis”. Diperlukan waktu cukup panjang pula untuk mengubah budaya “lisan” ke budaya “tulis”. Tahapan ketika manusia memasuki budaya tulis itulah apa yang disebut dengan kitab suci yang menggunakan “huruf-huruf” sebagai alat komunikasi penyampaian ide-ide, pokok-pokok pikiran dan keyakinan atau keimanan tampil ke permukaan sejarah.
Umat beragama -apapun agamanya- biasanya melupakan proses sejarah yang amat panjang ini demi kebutuhan praktis keagamaan. Ketika budaya tulis-menulis muncul kepermukaan, maka secara otomatis terjadi perubahan cara berpikir, berinteraksi dan berkomunikasi. Fleksibilitas dalam budaya lisan berubah menjadi rigiditas dalam budaya tulis. Dalam budaya tulis, sebenarnya terjadi proses panjang dan rumit yang melibatkan antara lain proses pengumpulan informasi, baik secara hafalan atau dengan cara lain, penyimpanan, penyusunan redaksi, penyuntingan, dan pelepasan informasi-informasi penting secara selektif.
Umumnya, umat beragama menganggap semua ini tidak ada. Mengapa? Bukan semata-mata ditutupi oleh keyakinan bahwa kitab suci adalah wahyu yang secara verbatim turun dari Allah, tetapi juga karena desakan kebutuhan praktis. Yang diperlukan oleh umat beragama, lebih-lebih oleh para elit yang mempunyai kepentingan ideologis serta orang-orang yang disibukan oleh profesi yang ditekuni sehari-hari (division of labour) adalah memperoleh “pedoman praktis” yang dapat diperoleh dengan cepat, yang siap saji dan siap pakai, secara instant tanpa harus berpikir mencari akar sejarah (asbab al-nuzul) dari rangkaian ayat-ayat kitab suci.
Istilah “siap saji” dan “siap pakai” menunjukkan adanya psikologi ketergesa-gesaan, keterburu-buruan, ketidaksabaran, pencarian jalan pintas, dan penghematan waktu di dalam memahami kitab suci. Begitu pembaca menatap dan membaca huruf-huruf atau kalimat-kalimat yang tertera dalam kitab suci, lebih-lebih jika apa yang dibaca itu sesuai dengan cita-cita sosial-politik dan kecenderungan subjektif diri sendiri tanpa harus berpikir panjang atau angen-angen maknane (memahami esensi, substansi dan arti terdalam dari untaian kalimat yang dibaca beserta konteks yang menyertainya), pembaca atay penafsir teks tersebut berharap bahan yang dibaca tersebut langsung dapat dijadikan norma kehidupan, membimbing kehidupan membentuk sikap, mempola perilaku, dan bahkan mewarnai tindakan sosial.
Norma-norma kehidupan seringkali juga terbentuk dari hasil ketergesa-gesaan, pemahaman terburu-buru. Namun, karena desakan kebutuhan praktis, maka para pembaca kemudian cepat-cepat dikodifikasikan dan menjadikannya sebagai pedoman serta melestarikannya. Beberapa saat sesudahnya, -bisa jadi dalam kurun waktu tertentu: satu abad atau beberapa abad kemudian, muncul para pembaharu (Reform Movement) yang mempertanyakan ulang relevansi norma-norma yang selama ini berlaku dan dianggap baku oleh masyarakat.

a. Pemahaman Literal-Skriptural dan Sikap Eksklusif-Apologetik.
Pemahaman tekstual-skriptural terhadap kitab suci merupakan suatu jenis pemahaman kitab suci yang paling mudah diperoleh. Dalam Ulum al-Qur’an (studi ilmu Alquran) dikenal istilah munasabah al-ayat. Istilah ini mengindikasikan bahwa pemahaman tekstual-literal-skriptural terhadap potongan ayat atau hadis tidak begitu bagus, karena ayat tersebut belum sempat diperbandingkan dengan ayat-ayat lain supaya memperoleh pemahaman yang lebih utuh. Pemahaman tekstual-skriptural adalah jenis pemahaman kitab suci yang dangkal, karena tidak ada upaya memperbandingkan secara mendalam – lebih-lebih secara kontekstual yang membutuhkan analisis histories dan psikologis –antara satu ayat dengan ayat-ayat lain yang mungkin memberi pemahaman dan pengertian yang berbeda atau justru berseberangan – untuk tidak menyebutnya bertentangan.
Istilah-istilah atau kosa kata dalam kitab suci al-Qura’an atau Hadis nabi, biasanya dipahami secara sepihak oleh berbagai pemangku kelompok kepentingan sosial, politik, ekonomi, sosial. Antara lain dapat diambil contoh, seperti Jahiliyyah (Jahiliyyah al-asr al-hadits), Khalifah (dipopulerkan dengan sistem pemerintahan khilafah), Kufr (menjadi gerakan al-takfir wa al-hijrah), wadhribu hunna wahjuru hunna (gender equity), dan begitu seterusnya.
Pemahaman skriptural-tekstual ini mudah sekali membentuk sikap sosial yang bersifat apologetik dan eksklusif. Dalam percaturan dan pergumulan dunia sosial adalah wajar jika ada kelompok lain yang tidak sepakat dengan pandangan kita, mengkritik, tidak menyetujui, memberikan catatan-catatan kritis terhadap pola hidup, pandangan hidup, keyakinan, serta tindakan yang kita anggap secara sepihak paling benar. Ketika ada orang atau kelompok lain, lebih-lebih jika orang atau kelompok tersebut merupakan pengikut agama lain, yang melontarkan kritik atau menyatakan ketidaksetujuan mereka, maka instink sosial kita secara spontan akan menolak, paling tidak ingin mempertahankan diri, memegang teguh ide, keyakinan dan pendapat kita tanpa harus diteliti secara cermat dan diuji terlebih dahulu. Seringkali, ketika argumen dan posisi kita sedang lemah dan sedikit terdesak, kita pun memerlukan backing dari kitab suci yang kita pahami secara instant, siap saji dan siap pakai, supaya posisi dan argumen kita lebih legitimate dan berwibawa (charismatic).
Dalam kehidupan sosial keagamaan, jika seseorang dan lebih-lebih kelompok telah terpaku kuat pada pemahaman kitab suci secara literal-skriptural, maka tiga kata kunci sosial mendadak hilang yaitu “kompromi”, “konsensus” dan “negosiasi” hilang, lebih-lebih kosa kata “kritik” (al-Naqd), In uridu illa al-Islah tenggelam dalam pelukan hegemoni kekuasaan tafsir kepentingan individu, kelompok (partai, agama, suku, ras, organisasi keagamaan). Kompromi dan konsensus adalah kata kunci penting bagi masyarakat yang hidup di era kemajemukan, multirelijius dan multikultural. Oleh karena desakan kebutuhan untuk memperteguh identitas diri dan kelompok, pemahaman keagamaan yang bersifat skriptural-literal yang mudah dan cepat dapat dipegangi, maka dua kata kunci sosiologis secara mudah diplesetkan arti dan maknanya menjadi “kemunafikan”, ketidakkonsistenan, kelemahan iman dan pada puncaknya “kekafiran”. Betapa bedanya pandangan teologis dan pandangan sosiologis dalam hal ini. Sudah barang tentu, model pendekatan teologis yang bercorak literal-skriptural dapat membantu mengantarkan pada posisi penguatan, penegasan dan pengukuhan identitas diri dan kelompok secara umat, tetapi pada saat yang sama pemahaman tersebut juga mengindikasikan betapa “miskin” dan “rapuh”nya corak pemahaman seperti itu terhadap keberadaan orang lain (the others). Posisi dan pemahaman seperti itu tidak hanya terbatas pada golongan umat beragama tetapi juga pada kelompok-kelompok lain yang non-agama. Boleh dibilang bahwa konsekwensi yang tak diharapkan dari corak pemahaman literal-skriptural terhadap kitab suci adalah lemahnya pandangan seorang dan kelompok agamawan terhadap keberadaan kelompok lain diluar diri dan kelompoknya. Jangankan memikirkan proexistence dengan orang kelompok lain, pada tingkat coexistence saja amat sulit diperoleh.
Benih-benih, akar-akar, tahapan sangat awal dan bentuk paling dini munculnya “violence” atau tindak kekerasan bermotifkan agama adalah dari pemahaman keagamaan yang bercorak literal-skriptural, dan sikap sosial yang bersifat eksklusif dan apologetik. Tidak salah jika “Ilmu Kalam” dalam studi ulumu al-diin yang masih diteruskan hingga sekarang memang didefinisikan sebagai bangunan ilmu pengetahuan tentang ketuhanan Islam yang dimaksudkan untuk “menolak argument sistem kepercayaan yang dianut orang lain.”
Sampai disini tidak ada masalah sesungguhnya. Kitapun maklum bahwa peneguhan dan penegasan indentitas diri, dan lebih-lebih identitas kelompok lebih lagi identitas kelompok keagamaan memang harus dibangun diatas fondasi yang kokoh, tak tergoyahkan dengan cara apapun. Kalau perlu dengan segala cara yang dianggap wajar dan masih dalam batas-batas dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Semua entitas sosial, lebih-lebih entitas agama akan melakukan defence mechanism jika identitas diri dan kelompoknya terusik dan terganggu oleh kritikan apalagi serangan dari kelompok lain. Jika tidak begitu maka hakekat jati diri dan kelompok akan luntur.
Berikutnya akan diulas kapan tahapan yang dianggap wajar ini kemudian berkembang dan berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi wajar, tidak nyaman dan mengarah kearah yang lebih destruktif-membahayakan kehidupan bersama umat manusia.

b. Ketidakpercayaan Sesama Anggota Kelompok Masyarakat (Mutual distrust).
Perasaan tidak senang, tidak setuju, tidak sepakat adalah wajar. Setiap individu dan kelompok selalu mempunyai watak atau sifat dasar seperti itu. Namun perasaan tersebut bisa bertambah menjadi-jadi, bertambah kuat dan berkembang luas jika dibarengi ramuan sikap-sikap sosial dan beban-beban sejarah masa lalu yang biasanya tidak mudah dilupakan karena terdokumentasikan dengan baik, baik dalam ingatan kolektif maupun buku-buku literatur dan film-film dokumenter.
Beban sejarah masa lalu seperti penjajahan (kekuasaan Ottoman Empire [Dinasti Turki Utsmani] di sebagian wilayah Eropa pada masa lalu atau penjajahan Belanda atas Indonesia), perebutan wilayah dan sumber ekonomi (wilayah Quebec, Canada, sebagai wilayah yang diperebutan antara Inggris dan Perancis di Amerika Utara), tindakan pengusiran dari tanah air (Palestina), eks-komunikasi atau pengucilan (pengasingan Presiden dan Wakil Presiden Pertama RI, Soekarno dan M. Hatta ke Digul, penahanan Sanana Gusmao di Jakarta, atau kasusu Nelson Mandela di Afrika Selatan), keinginan untuk melakukan balas dendam terhadap peristiwa masa lalu yang tidak mengenakkan (perang salib dan jihad), pendudukan wilayah (peristiwa Timor-Timur atau aneksasi Kuwait oleh Irak), sengketa wilayah (perebutan wilayah Kashmir antara India dengan Pakistan atau sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan Ambalat antara Malaysia dengan Indonesia), dan sebagainya. Beban-beban sejarah masa lalu ini akan memperbesar, memperkuat, mempertajam dan memperuncing hubungan antar kelompok sepanjang masa – untuk tidak menyebut selamanya. Hubungan sosial tidak sehat antara dua atau tiga pihak yang berselisih akan memunculkan tuduhan-tuduhan liar yang sulit dikendalikan. Kelompok yang satu dianggap sebagai “mata-mata” atau bahkan musuh oleh kelompok yang lain, hanya semata-mata karena berbeda pendapat. Kaum intelektual yang progressif dianggap agen CIA (Fazlur Rahman di Pakistan; tokoh pejuang hak-hak wilayah dan kultural, atau peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Kompeni Belanda); karya ilmiah dianggap sebagai alat untuk menggoncang akidah umat (Nasr Hamid Abu Zaid di Mesir) , perbedaan epistemologi pemahaman keagamaan (kasus al-Hallaj pada era Islam klasik atau Syaikh Siti Jenar di lingkungan budaya Jawa); perebutan pengaruh dalam percaturan politik-ekonomi di dalam negeri (Mahatir Muhammad versus Anwar Ibrahim di Malaysia); penghinaan terhadap martabat dan nama baik agama, negara, atau rezim (Fatwa Imam Khomaini, pimpinan tertinggi Iran 1979-1989, atas Salman Rushdie), fatwa MUI tahun 2005 tentang sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) bagi gerakan intelektual dan sosial keagamaan yang kritis terhadap perilaku sosial politik keagamaan ditanah air dan begitu seterusnya. Dalam literatur agama Islam baik yang diambil dari kitab suci maupun kitab-kitab ilmu kalam, dapat dijumpai banyak kosa kata yang sesungguhnya tidak hanya dapat dipahami secara teologis, namun juga secara sosiologis politis, seperti kata-kata ”kafir”, ”murtad”, ”munafiq”, ”inkar” (mungkir al-sunnah), ”mujrim”, ”bughat” dan sebagainya.
Sikap-sikap seperti ini, yang ujung-ujungnya tidak menyetujui dan tidak mengakui keberadaan serta hak-hak orang atau kelompok lain, jika memuncak dan menumpuk akan membentuk serta memupuk sikap-sikap tidak toleran (intolerance), kebencian (hatred), kemarahan (anger), ancaman (threat), dan tindakan diskriminatif. Pada gilirannya, akan tumbuh penyakit hati yang disebut buruk sangka (prejudice atau su’udzan) pada orang lain dan kelompok lain yang tidak seide, sepaham, seaqidah, seiman, sesekte, separtai atau seorganisasi. Pada puncaknya, ketika semua prasayarat telah terpenuhi, maka akan muncul ketidakpercayaan antar sesama individu, sesama anggota keluarga, sesama kelompok atau antar kelompok (mutual distrust).
Ketika hendak menyiapkan tulisan ini, penulis ingin mengecek Encyclopaedia of Religion terlebih dahulu. Saya yakin bahwa di dalam literature semacam itu, khususnya yang terbit setelah tahun 1990, seharusnya telah mencantumkan entry “violence” dalam kosa kata bahasa agama. Jika tidak, penulis menganggap ensiklopedia tersebut tidak mengikuti perkembangan sejarah agama-agama era modern. Ternyata benar dugaan penulis. The Oxford Dictionary of World Religions, misalnya, menguraikan violence dalam agama sebagai berikut :
Violence : An aspect of human behaviour often bound up with emotion (especially anger), which religions cannot ignore-and often express. Opinion is divided as to as where violence should be located along the nature – nurture spectrum. Those favouring natural processs or psychodynamics theory hold that religious activities reduce violence if they function cathartically, but increase violence if they result in frustation. Those favouring cultural processes, hold that religious function as learning systems. It is pointed out that apparently non-aggressive societies are informed by religions which function to instil peace by presenting the adverse consequences of violence. Aggressive peoples, on the other hand often live with aggressive religious ideologies.
Ada tiga kata kunci yang tersirat disitu: pertama, Agama sama sekali tidak bisa meninggalkan- untuk tidak menyebutnya lengket dengan ”emosi”, sedangkan ”emosi” merupakan cikal bakal agresivitas yang mudah berbelok arah kepada tindak kekerasan.
Kedua, aktifitas dan kegiatan keagamaan dapat mengurangi tindak kekerasan, jika ia berfungsi dengan baik sebagai alat peredam (katarsis). Tetapi sebaliknya, aktivitas keagamaan bisa menjelma menjadi daya dorong yang hebat dan memicu kekerasan, jika ia justru menimbulkan perasaan frustasi dan tidak puas bagi para pemeluknya.
Ketiga, masyarakat beragama yang tidak agresif biasanya dikondisikan oleh corak dan model pendidikan agama (learning system) yang ditawarkan oleh para pimpinan agama, masyarakat, atau kelompok agama yang santun secara sosial. Para guru dan pemimpinnya memang selalu mempromosikan dan menyemaikan nilai-nilai perdamaian pada umatnya, sedangkan masyarakat beragama yang agresif biasanya memang dibentuk oleh corak pemahaman keagamaan para elit pemimpinnya (guru, mentor, dosen, kiai, pastur, romo, pendeta, tokoh agama) yang berubah dan menjelma menjadi ”ideologi” pembela kepentingan tertentu.
Pimpinan elit agama termasuk didalamnya guru, orang tua, dosen, kyai, da’i, ustadz, pimpinan gerakan mahasiswa, pimpinan organisasi sosial keagamaan, dan pimpinan politik yang berbasis agama, pimpinan usrah, halaqah, tarbiyah dan sejenisnya ternyata memegang kunci penting kemana layar akan berkembang, dan kemana biduk doktrin agama akan dibawa. Ke arah konsensus dan kompromi yang mengarah ke kesejukan dan perdamaian, atau ke arah pertentangan, mutual distrust, konflik dan kekerasan. Pada dasarnya agama bersikap mendua (ambivalent) bisa sejuk, bisa juga beringas; bisa lunak, bisa keras; bisa damai, bisa juga perang. Karena sifatnya yang mendua, lalu para elit pimpinan agama perlu ekstra hati-hati dan benar-benar waspada. Tingkah laku, akhlak sosial-politik, solah bowo, muna-muni (bahasa Jawa), dan fatwa-fatwa keagamaan , yang dikeluarkan oleh pemimpin agama akan sangat membentuk corak perilaku agresif atau non-agresif dari umatnya. Termasuk yang perlu diwaspadai adalah bagaimana corak pendidikan agama yang diberikan sejak dari pilihan materi, metode, sampai teknik pengajaran di sekolah-sekolah umum, pesantren, sekolah-sekolah agama, perguruan tinggi, gerakan mahasiswa, kursus-kursus ”kilat” keagamaan, model penjaringan anggota baru lewat gerakan dan pemahaman keagamaan, majelis-majelis taklim, arena serta tempat-tempat kebaktian, rapat-rapat, dan pidato-pidato keagamaan yang bersifat agitatif di tempat-tempat umum, seperti di lapangan terbuka, masjid, pura, gereja dan begitu seterusnya.

c. Penyebaran Merata Rasa Ketidakadilan Sosial-Ekonomi dan Sosial Politik
Tidak fair menjadikan agama sebagai kambing hitam jika terjadi kekerasan dalam masyarakat. Benih-benih kekerasan yang telah ada secara intrinsik dalam agama tidak bisa serta merta tumbuh subur dan tersebar luas jika tidak ada faktor di luar agama yang ikut berperan. Faktor di luar entitas agama yang bisa membonceng adalah situasi riil politik, ekonomi, dan sosial. Gerakan ”fundamentalisme” agama yang biasa disebut-sebut belakangan adalah masuk dalam wilayah ini. Karen Amstrong menyebut gerakan fundamentalisme agama sebagai ”highly political spirituality” (Keberagamaan yang sangat berbobot politik kekuasaan)
Masalah ketidaksetaraan (inequality) atau kesenjangan yang sangat mencolok antara the have dan the have not sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat luas . Negara-negara kapitalis menjadi digdaya, karena ditopang dengan kekuatan ilmu pengetahuan, baik secara teoretis maupun terapan, serta digerakkan dengan mesin globalisasi ekonomi dan perdagangan melalui multinasional, program WTO, dan AFTA. Sedangkan yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan tersebut menjadi negara miskin. Jika perubahan era postmodernitas berjalan secara liar- yang kalaupun diatur hanya akan memihak kepada negara-negara adi kuasa, maka proses ini akan menimbulkan keresahan sosial yang bersifat massif. Menumpuknya hutang negara-negara dunia ketiga sejak di Amerika Latin, Afrika dan Asia, yang disebabkan kesalahan manajemen di dalam negeri- apalagi kalau dibarengi dengan persekongkolan dan penyuapan antara pemberi hutang dan penerimanya- tanpa ada penyelesaian yang jelas, maka hal ini akan menambah tumpukan rasa frustasi banyak anggota masyarakat dunia ketiga.
Ketidakadilan global berakibat pada ketidakadilan lokal. Ketidakadilan lokal ikut memicu berkobarnya rasa iri, dengki, tidak puas, frustasi anggota masyarakat. Tindak KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di berbagai tempat, perselingkuhan birokrasi pemerintah dengan pengusaha dan partai politik menjadikan rakyat tidak berdaya dan tidak mempunyai akses yang setara ke sentral-sentral ekonomi, pusat-pusat kekuasaan politik, dan pendidikan; hukum dan sosial. Lambannya penegakan hukum terhadap pelaku tindak korupsi semakin mendorong warga untuk frustasi. Singkat kata, lemahnya kinerja pemerintah dari pusat sampai daerah dalam melayani kebutuhan dan rasa keadilan rakyat menambah akumulasi rasa ketidakpuasan masyarakat luas.
Ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur (politik, ekonomi, sosial, agama), dan menjadi tanggungjawab pemerintah terekspresikan dalam wilayah pelayanan sosial, seperti kesehatan, sandang pangan, pendidikan, penerangan, transportasi, air bersih, komunikasi, hukum. Ini menjadi tolak ukur kesungguhan dan kepedulian struktural pemimpin politik (DPR, MPR, Pemerintah) terhadap rakyat. Rezim pemerintah paska kemerdekaan, yang dianggap ”sekuler”, dicap gagal dalam menaikkan taraf kehidupan rakyat kecil pada umumnya. Sebagian kelompok agama ingin kembali ke sistem pemerintahan ”khilafah” (baca: bukan demokrasi) ang dianggap akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan ini.
Pemerintahan yang stabil biasanya tercermin dan terukur lewat layanan sosial yang diberikan. Pergantian regim lewat pemilikan umum tidak jadi soal jika layanan sosial dari semula memang sudah prima. Layanan sosial perlu menjadi primadona sebuah rezim pemerintahan. Kebutuhan masyarakat yang tercukupi akan menopang stabilitas pemerintahan. Begitu pula sebaliknya, mutu pelayanan sosial yang rendah akan melemahkan roda pemerintahan. Dan lemahnya roda birokrasi pemerintahan melemahkan wibawa dan otoritas negara untuk melanjutkan kepemimpinan yang diinginkan oleh rakyat.
Tidak terpenuhinya rasa keadilan secara struktural dalam masyarakat sangat rawan bagi stabilitas pemerintahan. Intrik-intrik, manipulasi konspirasi, oligarki, gerakan bawah tanah, clandestine activities, dan persekongkolan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah mulai dihembus-hembuskan oleh lawan-lawan politik . Lawan-lawan politik tersebut dapat dengan mudah menjual ide-ide mereka, jika memang situasi riil politik memungkinkan. Perlawanan ideologis dari kelompok-kelompok pesaing pemerintah yang inilah yang akan menjelma menjadi cikal bakal kekerasan yang bersifat terbuka. Gerakan fundamentalise keagamaan hidup subur dalam situasi melemahnya birokrasi kepemerintahan dalam melayani hajat masyarakat banyak –yang belakangan- untuk konteks Islam- disebut Islamism.
Pada era demokrasi dan transparansi, kekerasan struktural bisa bermula dari rezim yang sedang memerintah, pergumulan ideologis antara eksekutif dan legislatif dalam merancang dan memberlakukan kebijakan ekonomi negara (tarif listrik, BBM, telepon, harga-harga bahan pokok), pergumulan antara pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan kelompok-kelompok kepentingan yang lain seperti partai politik, kelompok militer, birokrasi, ulama, barisan sakit hati, dan begitu seterusnya.
Perkawinan dan percampuran antara ketiga faktor sebagaimana terurai di atas, yaitu pemahaman yang sempit terhadap teks-teks kitab suci, perasaan tidak aman secara socio-psikologis dan ketidakadilan ekonomi global – lebih-lebih ketidakadilan lokal, menciptakan situasi yang sangat rumit, dan kompleks, Keadaan tersebut lebih rumit dibandingkan dengan situasi pada abad pertengahan, lantaran canggihnya ilmu dan teknologi dan media komunikasi publik yang dimiliki oleh generasi umat manusia sekarang ini. Jika ini dianggap sebagai gejala penyakit, maka cara penyelesaiannya pun harus berbeda dari cara-cara yang dahulu pernah dipakai oleh peradaban umat manusia di masa lalu. Ibarat penyakit kanker yang kronis, pertemuan antara ketiga faktor ini belum ada obat penyembuhnya.
Sampai disini, sebenarnya juga tidak ada masalah. Kekerasan yang sifatnya keluar terbuka belum muncul ke permukaan, meskipun kekerasan yang sifatnya ke dalam sudah hampir merata dirasakan banyak orang, khususnya para elit. Timbul ketidakpastian, kegelisahan, dan kekalutan yang campur aduk dalam benak beberapa orang, khususnya para elit yang ingin memperbaiki keadaaan yang dianggap tidak nyaman dan mengusik rasa keadilan. Biasanya, perasaan tersebut diekspresikan lewat demokrasi unjuk rasa dengan berbagai variasi dan aksi pendahuluan, seperti surat kaleng, diskusi ahli, protes, permohonan ancaman, boikot, walk out, tulisan artikel dimedia massa, konferensi pers, debat publik, penyebaran selebaran, pamplet, dan begitu seterusnya.
Selagi pemerintah tetap membuka diri untuk berkomunikasai dan berdialog dengan semua kalangan, semua cara untuk menyampaikan akumulasi aspirasi tersebut masih wajar-wajar saja. Lebih-lebih jika pemerintah mau mencari solusi yang dianggap tepat oleh para penyampai aspirasi. Namun, hukum sosial tidak berjalan linear seperti itu. Diluar yang ”resmi”, masih banyak cara dan jalur ”tidak resmi”, yang seringkali berdampak lebih fatal daripada jalur-jalur konstitusional-formal tersebut. Poin berikut akan diuraikan apa yang diebut ”pemicu” (trigger) yang membuat keadaan menjadi tidak terkendali. Tahapan ini seringkali, luput dari telaah para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan, tetapi sangat ditunggu-tunggu oleh berbagai pemangku kelompok kepentingan (politik).

d. Pemicu (Trigger) Rumput Kering Sangat Rawan Terbakar.
Situasi psiko-sosial seperti tergambar di atas sesungguhnya amat sensitif dan rawan. Ibarat air dalam panci yang diletakkan di atas tungku api yang sudah mulai ”memanas”, dan sebentar lagi akan ”mendidih”. Ibarat rumput kering, tinggal menunggu percikan sedikit bahan bakar dan api, maka seluruh area akan cepat terbakar habis.
Pertemuan 3 faktor tersebut di atas ibarat ladang rumput yang sudah hampir mengering semuanya. Tidak ada lagi celah diantara sisa hamparan rumput tersisa yang masih hijau, yang dapat menjaga tidak meluasnya api. Begitu ada sedikit saja percikan api, maka rumput kering itu langsung terbakar. Tanpa mengenal ampun, seluruh padang rumput terbakar karena tak ada kekuatan yang dapat menghalangi dan meredam jilatan api yang mengganas.
Anehnya, tidak terlalu sulit mencari ”bahan bakar” untuk membakar dan melauapkan emosi, ketidaksabaran, frustasi, kebencian sosial, dan rasa tidak saling percaya tersebut. Ibaratnya, tidak diperlukan bergalon-galon atau berdrum-drum bahan bakar untuk membakar padang rumput. Inilah wilayah yang sangat sulit diduga dan sulit diantisipasi.. Kekuatan intelijen sekalipun tidak bisa menciumnya. Apalagi jika intelijen dan aparat keamanan ikut bermain di dalamnya.
Jika kita mencermati bagaimana kekerasan sosial dapat meledak ditanah air 2-3 tahun sebelumnya dan sesudah turunnya Soeharto, maka kita akan memperoleh beberapa faktor sosial yang dapat dikategorikan sebagai ”pemicu” munculnya kekerasan sosial, baik seperti tawuran antar kampung, tawuran antar pelajar, pembakaran dan pengrusakan gedung, pembakaran gereja atau masjid, pemusnahan gedung milik pemerintah (gedung DPRD, Kepolisian, Kejaksaan), pembakaran toko-toko milik etnis tertentu dan begitu seterusnya.
Dipekalongan, misalnya, seorang yang dianggap tidak waras menyobek kertas kitab suci al-Qur’an. Oleh para elit, yang sedang mencari alasan yang kuat untuk menggerakkan dan membakar emosi massa demi tujuan dan kepentingan tertentu, kejadiaan ini dijadikan sebagai alat hulu ledak untuk membakar emosi massa untuk berbuat kekerasan sejadi-jadinya dengan cara membakar tempat-tempat niaga dan pertokoan miilik etnis Cina tanpa ada yang bisa menghalanginya.
Contoh lain, pembangunan gedung gereja yang terlalu mewah menurut ukuran lingkungan sekitar, seperti di Situbondo, dapat dijadikan pemicu untuk menyentuh isu ketidakadilan masyarakat. Dengan mudah masyarakat digerakkan untuk membakar gereja dan sekolah-sekolah. Di lain tempat, penulis diberitahu mantan Dandim (Komandan Distrik Militer) Wilayah Ambon, bahwa kesalahan tulis yang tidak disengaja ketika kata ”nabi” manjadi ”babi” (karena, di mesin ketik, letak huruf ”n” dan ”b” berdekatan) menjadi sumber pemicu kekerasan sosial yang hampir-hampir tidak bisa dibendung. Ini terjadi sebelum paristiwa tahun 1999.
Banyak kejadian-kejadian sepele lain yang dapat dijadikan dalih oleh tokoh sosial-politik atau figur sosial-kemasyarakatan yang tidak bisa menguasai diri dan kelompoknya untuk menciptakan situasi chaos dengan cara membakar emosi massa. Pola-pola dan modus operandi kekerasan sosial ini dapat terulang kembali. Yang berbeda hanyalah situasi dan konteks disertai pergantian pemain dan pelaku utamnya. Situasi-situasi sosial dan kejadian-kejadian pemicu bentrokan massa itulah yang sangat ditunggu oleh para ”provokator” yang memiliki target, tujuan, dan kepentingan tertentu.
Pola-pola ”baku” yang bisa dimainkan oleh para provokator inilah yang semestinya juga diperkenalkan kepada anak didik dalam pendidikan agama disekolah, forum pengajian, majelis taklim, kebaktian, atau rapat-rapat organisasi sehingga sistem early warning dapat terbangun dalam sistem pendidikan keagamaan kita. Hal ini perlu, karena agama dapat diracik dengan bahan oplosan atau ingredient yang salah, sehingga sangat jitu digunakan untuk membakar situasi. Ini dimungkinkan, lantaran emosi dan agresivitas melekat dalam watak dasar setiap agama.
Pada era sekarang, tidak cukup hanya mempelajari agama dari sisi-sisi normatif kebaikannya saja, tetapi perlu diperkenalkan dan dijelaskan juga sisi-sisi historitas ”keburukannya”. Yang seringkali memang sangat rumit dideteksi adalah jika agama bercampur dengan politik dan kekuasaan (al-aql al-lahuti al-siyasy) . Upaya menjelaskan kepada anak didik tentang sisi-sisi negatif dari penonjolan collective identy (identitas kelompok) yang disertai penanaman nilai-nilai fundamental sosial-keagamaan setidaknya dapat membantu anak didik dan masyarakat secara umum untuk lebih berhati-hati dalam mempermainkan agama demi kepentingan-kepentingan lain yang berasal dari luar agama itu sendiri.

e. Fundamentalisme Keagamaan Kontemporer
Istilah fundamentalisme keagamaan, sesungguhnya telah ada semenjak dahulu sampai kapanpun jua. Banyak istilah llain yang biasa digunakan untuk menggambarkan fundamentalisme keagamaan, seperti radikalisme, hardliners (aliran keras), ekstrimisme, militanisme, dan pada puncaknya terorisme. Bahkan belakangan muncul istilah ”Islamisme”.
Perilaku kekerasan yang berbasis sektarianisme keagamaan yang seringkali kita saksikan di berbagai tempat, baik di Barat maupun di Timur. Pertikaian dan permusuhan sengit yang berkepanjangan antara Muslim sekte Sunni dan sekte Syi’ah dan antara Katolik dengan Protestan di Irlandia, Itrak pasca rezim Saddam Hussein sampai sekarang ini, dan juga di negara-negara pecahan Yugoslavia, belum lagi di Afganistan dan Pakistan mengingatkan orang akan sejarah perang agama di Eropa yang berujung pada langkah pemisahan ”agama” dan ”negara”, dan sekularisme di Perancis. Gerakan radikalisme keagamaan atau fundamentalisme pada dasarnya merupakan gerakan politik yang diselubungi oleh keyakinan agama. Kaum minoritas merasa ditindas, dihegemoni, dan ditekan oleh kelompk mayoritas. Tidak ada power sharing (pembagian kekuasaan) diantara mayoritas-minoritas. Pluralisme dan multikulturalisme tidak pernah bersemai di situ. Masing-masing bertahan dengan kelompok mereka sendiri-sendiri. Golongan mayoritas mempertahankan status quo tanpa memperhatikan dan memperdulikan hak-hak minoritas.
Yang mayoritas –baca: persekutuan antara pemerintah yang sedang berkuasa dan ulama, untuk kasus di Mesir- ingin menguasai segalanya, dari hulu sampai hilir, sedang yang minoritas karena tidak punya akses apapun dalam wilayah politik, ekonomi, maupun sosial apalagi militer, maka mereka rela dan bisa berbuat nekat, misalnya membunuh dan meledakkan bom ditempat-tempat yang dianggap simbol-simbol kepentingan. Bahkan tidak menutup kemungkinan golongan mayoritas sendiri yang meledakkan bom untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Hubungan relasi kekuasaan yang mengandung unsur kekerasan dan ketidakadilan seperti ini tidak hanya berlaku bagi hubungan Barat dengan Timur atau antara Barat dengan Islam (clash of civilization), tetapi juga berlaku dalam hubungan satu atap kelompok agama sendiri (clash within civilization) di kalangan umat Islam, umat Protestan, dan begitu seterusnya. Pada akhirnya, terjadilah proses balas-membalas tanpa kesudahan, dan lagi-lagi masyarakat kecil yang menjadi korban.
Relasi kekuasaan (power relation) dalam gerakan fanatisme, radikalisme dan fundamentalisme, belum lagi apa yang disebut sebagai gerakan global salafisme kontemporer memiliki hubungan yang sangat dekat untuk tidak menyebutkan identik. Hampir seluruh tindak kekerasan (violence) yang terjadi di berbagai daerah dan negara yang mengatasnamakan agama sangat terkait dengan power relation (relasi kekuasaan), karena kekuasaan (power) adalah simbol bertemunya muara kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan militer sekaligus.
Menurut hemat penulis, yang membedakan gerakan radikalisme keagamaan era klasik dan kontemporer, selain karena digerakkan oleh pemahaman keagamaan yang sempit, perasaan tertekan, terhegemoni, tidak aman secara psikososial, serta ketidakadilan lokal dan global adalah juga digunakannya kecanggihan teknologi modern yang bersifat semi militer untuk merancang, menyalurkan, melampiaskan , dan mengegolkan cita-cita sosial-politik tertentu. Bom bunuh diri yang merebak di daerah-daerah konflik yang panas, seperti di Palestina, Irak, Afganistan, Chechnya, Pakistan, Saudi Arabia, dan bahkan Indonesia, adalah gabungan yang kuat antara ketiganya (relasi kekuasaan, gerakan fanatisme, dan radikalisme keagamaan). Istilah al-Tatarruf at-Diniy (ekstrimisme keagamaan), seringkali lebih nyaman dari pada istilah fundamentalisme (dalam konteks Protestan di Amerika)..
Kejadian paling dramatis adalah gerakan teror11 September 2001 yang dikerjakan dengan tekun disertai networking yang rapi dan akhirya memperoleh keberhasilan serta media coverage yang luar biasa. Rupanya, kemajuan ilmu dan teknologi (perspektf sains) yang terpisah jauh dari isu keadilan (perspektif ekonomi) serta pemahaman yang rapuh terhadap keberadaan orang atau kelompok lain agama (perspektive pemahaman agama) dapat mendatangkan mara bahaya yang tak terperikan di kemudian hari.
Bertemunya kemampuan ilmu dan teknologi dengan pemahaman keagamaan yang sempit serta tidak sensitifnya kepekaan sosial dapat menghimpun kekuatan dahsyat yang berdaya ledak yang luar biasa. Manusia tertegun dan menundukkan kepala melihat kenekatan gerakan terorisme yang membumi hanguskan simbol kekuatan dan kekuasaan dunia modern yang termanifestasikan dalam supremasi teknologi, globalisasi uang dan stock-market, komputer, aeronautika, dan jaringan media.
Lagi-lagi, disini manusia modern diingatkan bahwa kemajuan sains dan teknologi belum dapat menjamin segala-galanya. Karena tertinggal dan ditinggalkan oleh Barat dengan monopoli atas sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui (organik) maupun yang tak dapat terbaharui (non-organik), oleh negara-negara kuat (superpower), negara-negara dunia ketiga mempunyai cara lain dalam menghitung dan mengkalkulasi keadaan, meskipun kalkulasi tersebut bisa benar dan bisa juga salah.
Kalau Einstein dulu pernah menyatakan ”Science withort religion is blind, religion sciences lame”, maka hal itu ada benarnya, tetapi pertanyaan saya adalah seperti apakah agama seperti apa yang dimaksud oleh Einstein? Jika kemampuan dan kekuatan sains dan teknologi dipadukan dengan corak keberagamaan dan pemahaman keagamaan yang sempit serta bertambahnya gap yang terjembatani antara negara-negara kaya dan negara miskin, hasilnya adalah merebaknya tindakannya radikal, ekstrim dan teror. Sedangkan agama yang dipelajari secara provinsialistik, untuk era globalisasi kultural dan ekonomi seperti saat ini, juga tidak akan dapat banyak menolong menyiram kedahagaan spiritual apalagi material umat manusia.

READ MORE - Dari Fundamentalism Ke Islamism (Asal Usul, Perkembangan Dan Penyebarannya)

Islam Sebagi Ilmu

ISLAM SEBAGAI ILMU
(Gagasan Kuntowijoyo [2] radhiyallahu 'anhu tentang Pengilmuan Islam)
Tugas Makalah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: DR. H. Helmi FB. Ulumi

A.    Iftitah
Dalam bahasa Arab, Islam berarti “berserah diri” dan merupakan suatu Din yang berarti “aturan” atau “sistem” (QS. Al-Maidah/5 : 83). Secara etimologis, kata tersebut diturunkan dari akar yang sama dengan kata salam yang berarti “damai”. Kata ‘Muslim’ (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām. Kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah” dalam bahasa Indonesia. Secara konseptual, Islam adalah ajaran yang membawa keselamatan dalam kehidupan di dunia dan akhirat dengan berserah diri kepada Allah Subhanahu wata'alaa.
Salah satu hadis nabi shalallahu 'alaihi wasallam [3] menjelaskan bahwa Islam adalah sebagai sebuah pengakuan diri akan keesaan Allah Subhanahuwata'alaa bahwa Ia adalah Tuhan yang sepatutnya diimani, diyakini sebagai Penguasa segalanya dan tiada penguasa selain-Nya. Termasuk pula di dalam Islam, pengakuan akan kerasulan Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, sebagai pembawa risalah terakhir kenabian.
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan seluruh manusia, sifatnya melingkupi keseluruhan ajarannya. frasa Rahmatan lil alamiin, (QS. Al-Anbiya/21 : 107) adalah sebuah simbol Islam yang pemersatu dan penyempurna. Pemersatu, diartikan bahwa Islam adalah milik siapa saja yang mengakui eksistensi makna Islam. Dan penyempurna diartikan bahwa Islam mencakup segala aspek kehidupan, dengan berusaha mengayomi seluruh umat manusia. Titik tekannya adalah pada penyempurnaan akhlak (li-utammima makaarimal akhlaq). [4]
Misi penting inilah yang menjadikan Islam berbeda dengan agama yang lain, sementara banyak orang ketika melihat agama bisa dipastikan menggunakan paradigma agama selain Islam termasuk umat Islam sendiri. Akibatnya pada awal perkembangan Islam [5] tidak terjadi masalah. Permasalahan muncul ketika terjadinya penjajahan di negara-negara muslim. Sehingga terjadi penyempitan makna Islam dan istilah-istilah dalam Islam termasuk dalam istilah-istilah arab.[6] Pada gilirannya yang muncul adalah pemisahan agama terhadap ilmu dan sebaliknya. Maka muncullah istilah madrasah yang disempitkan maknanya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama saja, sementara istilah 'sekolah' dimaknai sebagai lembaga yang pelajaran agamanya hanya sedikit.
Islam (Al-Qur'an dan As-Sunnah) adalah agama untuk orang hidup, maka implikasinya Al-Qur'an dan As-Sunnah mengandung banyak ilmu keduniaan (epistemologi, aksiologi, ontologi dan lainnya). Coba kita perhatikan Surat Yasin saja [7] (surat Al-Qur'an yang paling digemari dan digandrungi oleh kebanyak kaum muslimin di Indonesia), kita akan mendapatkan ilmu pertanian dan derivasinya (ilmu tanah, ilmu untuk mengawinkan tanaman, ilmu yang berkaitan dengan air hujan, sampai teknologi pertanian).
Ada pendapat menarik dari seorang Ulama dari Iran menyatakan: "Dalam Al- Qur’an Perbandingan antara ayat muamalah (ibadah sosial) dengan ayat yang berkaitan ibadah ritual (ibadah vertikal) adalah 100 ayat berbanding 1 ayat. Dan dalam Hadis dari sekitar 50 pokok bahasannya tidak lebih dari tiga atau empat yang berbicara tentang ibadah ritual, selainnya adalah berkaitan dengan mu’amalah (ibadah sosial)”.
Abdul Wahab Khalaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo Mesir, merinci ayat-ayat tentang hukum (ahkam) terdiri dari; a) ayat tentang ibadah ritual : 140, b) ayat tentang hidup bermasyarakat, perkawinan, perceraian, hak waris : 70, c) ayat tentang perdagangan, perjanjian, persewaan : 70, d) ayat tentang perilaku kriminal : 30, e) ayat mengenai hubungan Islam dengan non-Islam : 25, f) ayat tentang soal pengadilan : 13, g) ayat tentang soal kaya-miskin : 10, dan h) ayat tentang kenegaraan : 10 ayat.
Paparan di atas menunjukkan bahwa seluruh ajaran ritual yang ada di dalam Al-Qur’an tidak hanya bersifat individual, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana seorang muslim dapat mengimplementasikan makna dan filosofi dari setiap ibadah ritual yang mereka lakukan ke dalam kehidupan duniawi. Perbandingan ini juga menunjukkan bahwa keshalehan sosial lebih mendapatkan proporsi yang tinggi dibandingkan dengan keshalehan individual yang didasari doktrin islam sebagai dogma bukan lagi sebagai ilmu (ajaran)
Maka perdebatan antara ilmu dan agama sampai hari ini masih dan akan terus terjadi. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas berkembangnya beragam agama, baik agama samaawi maupun ardhi. Dari sisi agama samawi pun masih juga terdapat masalah, karena kriteria masing-masing agama samawi juga ada perbedaan dalam gradasi antara ibadah mu'amalah dan ibadah ritual. Gradasi yang sangat kuat terletak pada agama Islam, sehingga memunculkan istilah islamisasi ilmu dan pengetahuan yang digagas dan dikembangkan oleh Ismail Raji' Al-Faruqi,[8] Naquib Al-Attas [9] dan Kuntowijoyo.

B.     Islam Sebagai Ilmu dalam Gagasan Kuntowijoyo radhiyallahu 'anhu
Kuntowijoyo menceritakan bahwa Islamisasi  pengetahuan adalah gerakan intelektual yang pertama kali dimunculkan oleh Isma’il Raji Al-Faruqi pada sebelum tahun 1980-an. Islamisasi pengetahuan mengupayakan agar umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Konsep Islamisasi Pengetahuan ini merumuskan tiga macam kesatuan yang merupakan penjabaran dari tauhid yaitu kesatuan pengetahuan, kesatauan kehidupan dan kesatuan sejarah.
Kesatuan pengetahuan ialah bahwa pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup artinya hilangnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dan dan ilmu yang bebas nilai. Sedangkan kesatuan sejarah artinya pengetahuan artinya harus mengabdi kepada umat. Islamisasi pengetahuan artinya mengembalikan pengetahuan kepada tauhid atau konteks kepada teks supaya ada koherensi dalam artian pengetahuan yang tidak terlepas dari iman
Di dalam naskah (photo copi-an dari pak Dosen), Kuntowijoyo mengkritisi konsep "islamisasi pengetahuan" karena ada persoalan objektifitas pengetahuan yang menurutnya Islam sendiri mengakuinya. Sehingga ia menganggap perlu Islamisasi pada sebagian pengetahuan dan menyatakan ketidak bergunaan pada sebagian yang lain. Kemudian Kuntowijoyo mengeluarkan gagasan baru yang disebutnya sebagai "pengilmuan Islam" sebagai demistifikasi Islam. Karena menurutnya dengan demistifikasi maka umat akan mengenal lingkungan secara lebih baik, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan simbolis maupun lingkungan sejarah.
Secara harfiah, frasa “pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Dari sini saja bisa muncul banyak pertanyaan. Pertama, perlu diperhatikan bahwa ia tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, misalnya. Tapi Islam itu sendiri yang merupakan ilmu. Dengan “pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam adalah caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara mengobjektifkannya.

C.    Objektifikasi Islam: dari Mitos dan Ideologi menjadi Ilmu
Satu cara untuk memahami gerak “pengilmuan Islam” adalah dengan memperhatikan periodisasi sistem pengetahuan Muslim yang dibuat oleh Kuntowijoyo. Periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu. Keputusan baik yang diambil di suatu periode belum tentu akan bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos, lalu sebagai ideologi, dan terakhir sebagai ilmu.
Periodisasi ini sesungguhnya awalnya dibuat untuk membagi sejarah politik umat Islam (khususnya di Indonesia). Namun karena pembagian ini dibuat berdasarkan sistem pengetahuan masyarakat, ia berguna pula untuk memahami gerakan pengilmuan Islam yang diusulkan untuk periode terakhir umat Islam ini. Pada periode pertama, Islam dipahami lebih sebagai mitos; sebagai sesuatu yang sudah selesai dan tinggal perlu dipertahankan, dijaga kemurniannya dari campuran-campuran non-islami, dan jika perlu dipertahankan dari serangan pihak luar.[10]
Islam sebagai ideologi sudah bersifat lebih rasional, tapi masih terlalu apriori/ nonlogis. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam bidang politik, ciri utama gerakan ini adalah berdirinya organisasi-organisasi politik, dan ditandai dengan gagasan pembentukan Negara Islam. Islam eksis hanya jika ia eksis secara institusional-formal.[11] Karena itu, ketika di Indonesia semua ormas diharuskan berasas Pancasila, ini dipahami sebagai upaya de-islamisasi. Padahal, kata Kuntowijoyo, ini juga bisa dilihat sebagai isyarat bahwa Islam perlu memasuki babak baru, yaitu periode Islam sebagai ilmu.
Dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektifikasi Islam. Untuk mengambil contoh aktifitas dalam periode ini di bidang politik, Kuntowijoyo memahami benar bahwa bagi para founding fathers Indonesia yang Muslim, menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta amat berat dilakukan, namun toh akhirnya dilakukan juga. Keputusan yang sama beratnya mesti diambil ketika pada masa Orde Baru terjadi marjinalisasi keterlibatan politik Muslim. Namun, kata Kuntowijoyo, “sekali lagi diminta kesadaran bahwa umat menjadi bagian dari bangsa yang plural.” [12] “Orang mengira bahwa Islam hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi. … [Padahal] Islam hanya memasuki babak baru dalam politik… yaitu periode ilmu.” Gagasan objektifikasi Islam diharapkan “dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi, umat sendiri, dan nonumat.”.
Namun ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar ia benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya memenuhi keinginan eksklusif sebagian kaum beragama tertentu untuk menegaskan identitasnya. Persis itulah yang menjadi salah satu tujuan objektifikasi, yaitu untuk menghindari dominasi satu kelompok agama atas kelompok-kelompok lainnya. Dengan ini, Muslim masih dapat tetap menjadikan al-Qur'an sebagai sumber hukum. Namun, “Objektivikasi Islam akan menjadikan al-Qur'an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga negara.” Muslim tak dapat serta merta menerapkan syari'ah menjadi hukum negara, misalnya, tapi itu hanya dapat dilakukan jika ada kesepakatan dari semua, termasuk non-Muslim. Ini hanya bisa dicapai jika nilai-nilai Islam itu telah diobjektifikasi sehingga tampil sebagai nilai-nilai yang dapat diterima semua orang lepas dari latar belakang/sumber nilai-nilai itu.
Sesungguhnya, Kuntowijoyo juga menyarankan bahwa semua agama melakukan hal yang sama, objektifikasi. Jika demikian, ini akan menjamin bahwa konflik dapat dihindari. Islam -dan sesungguhnya semua agama- bukan lagi berwujud identitas atau simbol yang diterjemahkan dalam label-label institusional yang menarik garis antara kelompokku dan kelompokmu, tapi justru ditransformasikan menjadi sumber pemecahan masalah bersama secara objektif. Kalaupun, misalnya, partai Islam atau partai Kristen ingin didirikan, perjuangannya tak lagi bersifat partisan. Nilai-nilai agama tertentu bisa diusung dalam agenda perjuangannya, tapi sebagai nilai-nilai yang kebaikannya bersifat objektif, bisa dipahami semua orang.
Kita dapat memahami beberapa pra-anggapan filosofis Kuntowijoyo. Sedikitnya ada dua hal yang bisa dicermati, yaitu:
-       Dalam polarisasi mazhab rasionalis dan tekstualis, posisi Kuntowijoyo ada dalam “kubu” pemikiran Islam yang lebih rasionalis;
-       Beliau meyakini bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa.
Di awal perkembangan pemikiran Islam, ada ikhtilaf di kalangan pemikir Muslim yang membagi mereka ke mazhab-mazhab rasionalis (mu'tazili) dan tekstualis. Kaum tekstualis, misalnya, memahami bahwa sesuatu perbuatan bersifat baik atau buruk karena ia diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan; kaum rasionalis, sebaliknya, melihat bahwa sesuatu perbuatan dilarang atau diperintahkan oleh Tuhan karena perbuatan tersebut bersifat baik atau buruk. Yang pertama menaruh kesetiaannya pertama-tama pada teks; yang kedua terutama melihat adanya nilai inheren yang objektif dalam agama. Ini jelas memberi ruang yang cukup besar bagi manusia untuk memikirkan rasionalitas teks.[13]
Kuntowijoyo saya kira tak ingin bergerak sejauh itu. Namun secara teoretis, keyakinannya akan rasionalitas Islamlah yang memungkinkannya menggagas objektifikasi Islam. Sementara kaum tekstualis selalu ingin kembali kepada teks; kaum rasionalis seperti Kuntowijoyo berangkat dari teks namun kemudian bergerak jauh untuk menjelajahi dunia. Yang pertama biasanya bersifat amat normatif, yang kedua empiris. Inilah yang nanti akan ditunjukkan sebagai salah satu pembeda pengilmuan Islam dari islamisasi ilmu.
Ciri utama periode ilmu adalah aktifitas objektifikasi Islam agar “Islam jadi rahmat untuk semua”. Gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal, bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena ia berasal dari Islam; berasal dari Islam atau tidak, itu tak penting lagi. Yang penting adalah bahwa nilai-nilai itu bisa ditunjukkan sebagai mengandung kebaikan pada dirinya sendiri, sehingga sumber nilai-nilai itu menjadi tak penting; yang penting adalah kemampuan menjustifikasinya secara rasional, demi mempersuasi sebanyak mungkin orang untuk menerimanya.
Sebagai hasilnya, “Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.” Objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tanpa mengenal agamanya, non-agama, bahkan anti agama. “Pendeknya, dari orang beriman untuk seluruh manusia.”.
Hal yang persis sama berlaku untuk agama-agama lain, yang bagi Kuntowijoyo juga perlu melakukan objektifikasi agar manfaatnya dirasakan semua orang. Ini karena ia tampak yakin benar bahwa semua agama memiliki keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang serupa. Untuk ini, cukuplah mengutip pernyataannya yang paling jelas dan eksplisit dalam tulisan terakhirnya “Maklumat Sastra Profetik” di Horison (Mei 2005). Sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, yang melampaui keterbatasan akal manusia,
“… Kitab Suci yang satu tidak lebih tinggi daripada Kitab Suci lainnya. Mereka sejajar. Islam mengajarkan (Al-Quran Surat Ali Imran/3: 64)[14] tentang adanya kalimah sawa' (titik temu, konsensus, common denominator). Tidak ada pertentangan tentang hal-hal yang fundamental, meskipun ada perbedaan dalam detailnya. Maka sekalipun dalam maklumat ini saya hanya mengemukakan ajaran dari satu Kitab Suci saja, saya yakin dapat mewakili semua Kitab Suci lainnya. Sebab, maklumat ini hanya akan membicarakan hal-hal yang ada titik temunya, dan yang tidak kontroversial.”. [15]
Kalimat terakhir perlu digarisbawahi: bagi Kuntowijoyo, keberpihakan pada etika profetik (yang dijabarkannya menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) adalah hal-hal yang tak kontroversial, bisa diterima semua orang (kecuali mungkin nilai ketiga, yang bermakna hanya bagi kaum beragama). Bagi Kuntowijoyo yang Muslim, inspirasi mengenai ketiga cita-cita profetik ini didapatnya dari Al-Qur'an surat 3 : 110:
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Tuhan”.
Kunto membaca ayat ini sebagai perintah untuk memperjuangkan humanisasi ( amar ma'ruf ), liberasi ( nahi munkar ), dan transendensi (beriman kepada Tuhan). Tanpa melakukan kajian lebih jauh, tampaknya tak sulit menemukan cita-cita profetik yang serupa di agama-agama lain.
Dalam “Maklumat Sastra Profetik”, ia menjabarkan agenda etika profetik itu secara lebih terinci. Yang pertama, adalah melawan kecenderungan dehumanisasi (dalam wujud manusia mesin, manusia massa, dan budaya massa ). Agenda liberasi adalah pembebasan masyarakat dari penindasan politik dan negara, ketidakadilan ekonomi, dan ketidakadilan gender. Agenda transendensi adalah “menghidupkan kembali” Tuhan yang telah dibunuh oleh beberapa aliran filsafat Barat.

D.    Islamisasi Ilmu vs Pengilmuan Islam
Di atas “pengilmuan Islam” dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi gerakan “pengilmuan Islam”. Dalam konteks yang berbeda, Kuntowijoyo membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan islamisasi ilmu.[16] Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks ke konteks; islamisasi adalah sebaliknya, dari konteks ke teks; sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks, nyaris tanpa memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur'an dan As-Sunnah).
Dalam beberapa pembahasan Kuntowijoyo, pengilmuan Islam terkadang sulit dibedakan dari islamisasi ilmu, dan tampaknya di tulisan-tulisan awalnya Kuntowijoyo tak secara ketat membedakan keduanya. Atau, penjelasan yang lebih memuaskan adalah bahwa Kuntowijoyo sesungguhnya telah mengubah posisinya mengenai gagasan islamisasi ilmu, yang di tahun 80-an dan 90-an merupakan gagasan yang amat populer di dunia Muslim. Perubahan posisi Kuntowijoyo tampak cukup jelas dalam buku Islam sebagai Ilmu yang mengandung bab-bab yang ditulis pada 1991 hingga 2004.
Sebagai contoh, di bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991) ia menyebutkan secara positif (dan eksplisit) upaya islamisasi ilmu yang dipahami sebagai upaya perumusan teori yang didasarkan pada paradigma al-Qur'an. Ia juga tak bersepakat dengan Ziauddin Sardar yang mengkritik upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Namun dalam tulisannya yang terbit pada 2002, ia menghadapkan pengilmuan Islam sebagai alternatif bagi islamisasi ilmu. Di pengantar buku itu, Kunto bahkan secara tegas mengatakan, “… gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah ‘pengilmuan Islam'. Kita harus meninggalkan ‘Islamisasi pengetahuan'….” [17]
Tampak setidaknya ada dua pembedaan pengislaman ilmu dengan pengilmuan Islam. Perbedaan pertama adalah dalam hal metodologinya. Yang pertama tampaknya lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah wujud, yang dipandang tak sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang lebih dipahami sebagai teks.
Pengilmuan Islam memiliki sikap yang lebih terbuka dalam hal ini. Gerakan ini dengan rendah hati mengakui bahwa penggagasnya lahir di alam ilmu-ilmu sekular, yang terkadang tampak bermusuhan dengan agama. Sementara umat beriman mungkin memiliki keberatan terhadap sebagian bangunan ilmu kontemporer, namun mereka tak ingin menggantikan ilmu-ilmu sekular.
Berangkat dari keyakinan akan misi profetik agama (transendensi, emansipasi dan humanisasi), yang diinginkannya adalah memastikan bahwa agama dapat memainkan peran yang cukup besar dalam memastikan keberlangsungan hidup dan masa depan umat manusia. Salah satu kritik gerakan ini terhadap ilmu-ilmu sekular adalah bahwa yang belakangan sedang terjangkiti krisis, dalam artian tak dapat memecahkan persoalan.
Di sinilah terletak perbedaan kedua dengan islamisasi ilmu. Pengilmuan Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan keilmuan saja; salah satu tujuan utamanya adalah mengkontekskan tek-teks agama; dengan kata lain, menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan di sini adalah “membumikan Islam”. Kenyataan hidup adalah konteks bagi keberagamaan. Ketika berbicara tentang ilmu sosial profetik, ia bahkan lebih jauh menyebut bahwa ilmu sosial ini bersifat transformatif.
Jadi, di satu sisi, yang diinginkan adalah justru melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekular, dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekular tak dinafikan, tapi diintegrasikan dalam suatu kerangka teoretis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Kerangka teoretis inilah yang ingin diturunkan Kuntowijoyo dari kitab suci (dalam hal ini, al-Qur'an).
Secara umum, bagi Kuntowijoyo, modal utama untuk memperbaiki ilmu-ilmu modern adalah agama. Agama penting dilibatkan di sini justru karena keberpihakannya cukup jelas, yaitu kepada kepentingan kemanusiaan (yang, sebagaimana disinggung di atas, dijabarkan menjadi humanisasi, liberasi, dan transendensi) . Namun, sekali lagi, ini mensyaratkan bahwa agama lebih dulu diobjektifikasi, agar benar-benar bermanfaat untuk seluruh umat manusia, tak hanya absah bagi pemeluknya.
Sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa perbedaan pengilmuan Islam dengan islamisasi ilmu terletak dalam beberapa hal. Pertama , pengilmuan Islam lebih terbuka terhadap ilmu-ilmu sekular. Kedua , islamisasi ilmu lebih bersifat reaktif dan normatif (mengembalikan konteks ke teks) dan memberikan perhatian lebih rendah pada kondisi aktual empiris. Ketiga , pengilmuan Islam (dalam wujudnya sebagai ilmu sosial profetik) lebih menekankan pada berkeinginan untuk memberikan arah etis bagi transformasi kondisi empiris itu.

E.     Analisis
Dalam pandangannya Kutnowijoyo menyatakan bahwa Strukturalisme transedental merupakan epistemologi Paradigma Islam yang memberikan gambaran aksiologis umat Islam untuk merekayasa transformasi sosial. Maka dalam hal ini Kuntowijoyo menghindari bias-bias historis dari pemahaman klasik, agar mendapatkan model pemahaman baru terhadap Al-Quran. Namun upaya menghindari bias-bias historis itu dengan sendirinya is langgar. Ia menawarkan pendekatan sintetik analitik yang tentu saja masih memerlukan kajian ulang terhadap konsep yang ada dalam Al-Quran, seperti yang dipahami oleh masyarakat di mana dan kapan Al-Quran diturunkan. Disini ada sedikit ketidak konsistenan beliau, karena ia sendiri menyatakan bahwa akan kesulitan menerapkan ajaran agama ketika tidak belajar konteks sejarah saat konsep agama itu turun, masa lalu dan tentu saja masa kini.
Kemudian dari segi konsep integralisasi keilmuannya seharusnya Kuntowijoyo juga menceritakan konsep klasifikasi ilmu menurut tokoh-tokoh Islam terdahulu. Seperti Al- Ghazali yang memisahkan antara ilmu religius yang dipandang lebih mulia dari pada ilmu 'nuqilan' yang berdasarkan pada pencapaian akal manusia belaka. Lebih lanjut Al- Ghazali mendefinisikan ilmu religius itu adalah ilmu-ilmu yang diperoleh para nabi dan tidak hadir pada mereka melalui akal, seperti aritmetika atau melalui percobaan, seperti pengobatan atau dengan mendengar seperti bahasa.[18] Hal ini semestinya dilakukan, karena pada dasarnya Kuntowijo memberikan sebuah konsep mengenai keIslaman. Sehingga seyogyanya Kuntowijoyo memberikan pandangan dari tokoh klasik sebagai pembanding konsep yang dibawanya.
Terakhir, kalau dibandingkan dengan realitas kemungkinan besar penerapannya akan sama. Karena sama-sama menggunakan konsep “knowledge based on religion”. Inti Islamisasi pengetahuan dengan Pengilmuan Islam adalah bagaimana praktik pengetahuan didasarkan pada ajaran agama Islam. Perbedaannya yang terlihat adalah pada Pengilmuan Islam konsep penerapan Islam pada realitas telah dipahami diawal sebelum realitas muncul dan pada Islamisasi pengetahuan sebuah pengetahuan hadir dulu baru diislamkan.  Tetapi meskipun begitu cita-cita ilmu sosial profetik merupakan ciri khas dari buku Kuntowijo ini. Ini merupakan cita-cita yang sangat mantap. Dengan konsep ini maka akan terciptanya masyarakat madani yang adil, aman dan tenteram. Karena umat telah termanusiakan kemudian terbebaskan dan telah menjiwai nilai-nilai ruhiyah.

F.      Ikhtitam
Kuntowijoyo adalah suatu sosok multidimensional—seorang ilmuwan sosial, sejarawan, dan sastrawan. Dengan mengangkat gagasan pengilmuan, ia ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama.
Dengan ini kita bisa memahami “ambisi”-nya melakukan outreach ke sebanyak mungkin orang, tanpa mengenal batasan-batasan identitas. Perhatian utamanya adalah kemanusiaan, dan semua aktifitas, termasuk aktifitas beragama, mesti ditujukan untuk melayani kepentingan umat manusia. Tak mengherankan jika ia sempat menolak ajakan malaikat untuk terbang ke langit, seperti disampaikan oleh puisi yang menjadi motto seminar ini. Sebagaimana ditunjukkan Nabi Muhammad, hatinya ada bersama manusia yang hidup di dunia ini, khususnya kaum yang menderita. Salah satu kisah Nabi Muhammad yang tampaknya menjadi favoritnya dan kerap disampaikannya adalah kisah yang disampaikan penyair-filosof Muhammad Iqbal mengenai penolakan Nabi untuk tetap tinggal di langit dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Ia ingin kembali ke bumi untuk melaksanakan cita-cita profetiknya. Solidaritas kemanusiaan universal inilah kiranya yang menjadi pesan utama dakwah Kunto, dan yang sulit ditolak bahkan oleh kaum pasca-modernis yang mencurigai setiap klaim universalitas.



[1] Tugas makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Disusun Abd. Wahid (NIM: 140101010) PPs IAIN SMH Banten, di bawah bimbingan Dosen Pengampu; DR. H. Helmy PB Ulumi, M. Hum.
[2] Prof. Dr. Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 – meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun, adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Ia mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar MA American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo)
[3] Hadits Riwayat Imam Muslim 1/87, Abu Daud 12/306, Ahmad 1/350
[4] Hadits Riwayat Imam Ahmad, 18/127.
[5] Yang dimaksud masa awal perkembangan Islam di sini adalah mulai masa kenabian Muhammad shalallhu 'alaihi wasallam sampai Diansti Abbasiyah dan Umayyah
[6] Misalnya kata ikhwan sebagai bentuk jamak dari kata akh yang berarti saudara laki-laki. Akan tetapi, pada peredaran kita sering menemukan arti yang keliru dalam pemaknaannya. Ikhwan, lebih cenderung dan identik dengan sekumpulan orang atau kelompok tertentu, yang memilki ciri-ciri tertentu pula. ”Ikhwan dimaknai sebagai muslim sejati, laki-laki yang rajin ibadah, pendiam, berjanggut, jidatnya hitam, dan lain-lain yang baik-baik.” Jika demikian, akan dikemanakan muslim lain yang tidak memiliki bithaqah ikhwan? Tidakkah mereka masuk ke dalam muslim sejati? Sungguh ironis apabila mengharuskan menjadi ikhwan untuk masuk sebagai muslim sejati. Dan, mengesankan bahwa Islam tidak lagi rahmatan lil alamiin (rahmat untuk semesta alam). Melainkan Islam rahmatan lil firqah atau li nafarin (rahmat untuk kelompok atau individu).
Contoh lain kata jihad. Ada puluhan ayat yang menerangkan secara gamblang soal jihad. Meski bukan rukun Islam, jihad merupakan hal penting yang harus diyakini oleh seluruh umat Islam. Tapi belakangan jihad menjadi monopoli kelompok tertentu (bila tidak boleh dikatakan teroris) seperti Noor Din M. Top. Mereka seolah mengatakan bahwa hanya mereka yang melakukan pengeboman dan kekerasanlah yang berhak menyandang predikat sebagai mujahid— pelaku jihad. Ada penyempitan makna. Jihad dimaknai sebagai qitaal, perang. Seolah, tanpa menghunus senjata, seseorang tidak mungkin berjihad. Padalah qitaal hanyalah satu bentuk jihad.
[7] Misalnya Surat Yasin ayat 33 – 36: "Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan. Dan kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan kami pancarkan padanya beberapa mata air, Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q.S. 36 : 33-36)
[8] Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres yang terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.
[9] Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931, adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas)
[10] Karenanya Kuntowijoyo menyebut bahwa tradisi ini biasanya bersifat deklaratif atau apologetis. (Lihat Muslim Tanpa Masjid, 102-103). Sebuah indikasi menarik yang diajukan Kuntowijoyo adalah mengenai maraknya buku-buku jenis itu yang diterbitkan Bina Ilmu atau Gema Insani Press.
[11] Seperti slogan yang diusung sekelompok muslim: La izzata illa bil Islam, wala Islama illa bisysyari'ah, walaa syari'ata illa biddaulah... daulah khilafah rasyidah
[12] Mungkin bisa dikatakan bahwa dengan melakukan objektifikasi, “baju Islam”/“Islam sebagai baju” ditanggalkan, dan Islam secara substansial tampil secara universal. Nilai-nilai Islami menjadi sesuatu yang bisa diterima orang, Muslim ataupun non-Muslim, karena kebaikan nilai-nilai itu sendiri, bukan karena nilai-nilai itu disebut “Islami”. (membandingkan ini dengan gagasan Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”; substansinya mirip, tapi argumennya berbeda) Dengan cara ini, Islam menjadi rahmat untuk alam semesta.
[13] Bahkan, bagi kaum rasionalis yang cukup “ekstrem”, karena kebaikan tersebut bersifat objektif, itu berarti ia accessible untuk pikiran manusia. Implikasinya, kebenaran-kebenaran tersebut dapat dicapai tanpa melalui medium kenabian/kitab suci. (Inilah salah satu yang ingin ditunjukkan dalam novel populer Hayy ibn Yaqzhan. )
[14] Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
[15] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, hal 8
[16] Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu,. Hal 6 - 11
[17] ibid, hal 1
[18] lihat di Osman Bakar Hierarki Ilmu “membangun rangka-pikir Islamisasi Ilmu”, Mizan,1993).
READ MORE - Islam Sebagi Ilmu